Rabu, 12 April 2017

Memohon keteguhan hati

رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا
 وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةً‌ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ


Rabbanaa Laa Tuzig Quluubanaa Ba’da Idz Hadaitanaa
Wahab Lanaa Min ladunka Rahmatan Innaka Antal Wahhab

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau palingkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah rahmat dari sisi-Mu kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.”

Ini adalah sepenggal permohonan yang selalu dirapalkan hamba-hamba Allah yang khawatir nikmat terbesar yang diberikan Allah tercabut dari hatinya, yaitu nikmat hidayah keimanan dan keislaman. Permohonan ini terdapat di dalam QS. Ali Imran (3) ayat 8.

Qalbu yang dalam bahasa Indonesianya diartikan hati, memiliki dua pengertian: (1) pengertian fisik, dan (2) pengertian ruhani.

Dalam pengertian fisik, qalbu adalah segumpal daging atau organ yang sarat dengan otot yang fungsinya menghisap dan memompa darah, terletak di tengah dada agak miring ke kiri, ini identik dengan Jantung. Dalam pengertian fisik ini, maka pengertian Qalbu (hati) bersifat tangible alias dapat dilihat. Seperti yang disabdakan Nabi SAW.: “Di dalam tubuh itu ada segumpal daging; yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.”

Sementara dalam pengertian ruhani, qalbu (hati) ini adalah potensi ruhani yang mengendalikan sikap dan tindak manusia. Hatilah yang memerintahkan anggota badan lahir seperti kaki, tangan, mata dan lainya. Hati juga yang memerintahkan fungsi-fungsi ruhani lainya seperti aqal dan juga nafsu. Dalam pengertian ruhani inilah, maka pengertian Qalbu (hati) bersifat intangible alias tidak dapat dilihat.

Hati (qalbu) dalam pengertian Ruhani ini tidak bersifat tetap, sering berubah ubah, dan itulah karakter hati. Kadang hati itu berada dalam keadaan hidup dan selamat dari penyakit hati (Qalbun Salim). Kadang terserang virus syahwat dan cinta dunia sehingga hati ada dalam keadaan sakit (Qalbun Mariedl). Bahkan kadang terserang oleh virus yang lebih berbahaya yaitu virus kemunafikan, syirik dan kufur, sehingga hati terkapar mati (Qalbun Mayyit).

Bolak baliknya hati ini, digambarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Ahmad)

Karakter hati yang kerap bolak balik ini, tidak akan ada yang bisa menjinakkannya, kecuali Dzat Muqalibal Qalbu (pembolak balik hati), yaitu Allah SWT. Oleh karena itu para pengabdi yang shaleh, yang benar-benar memahami karakter hati ini akan memohon kepada Allah, agar ditetapkan hatinya dalam keadaan Qalbun Salim (Hati yang Hidup dan selamat dari penyakit hati).

Selain dalam Al-Qur’an, ada juga do’a untuk memohon ketetapan hati ini yang bersumber dari hadits Rasulullah SAW riwayat Tirmidzi R.A., yang berbunyi: “Yaa Muqallibal Quluubi, Tsabbit Qalbi ‘alaa Diinika”, artinya : “Duhai Dzat yang membolak balikan hati, tetapkanlah hatiku pada Dien (agama) mu”. (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Hakim).

Hati yang hidup karena dihidupkan oleh Hidayah dari Allah yaitu Tauhid, akan membuahkan ma’rifah, cinta, ridha, ikhlash, khusyu dalam beribadah. Hati yang selamat dan bersih dari pengaruh virus–virus hati berupa syahwat dan cinta dunia akan menghambat bahkan menghalangi tumbuhnya penyakit-penyakit hati seperti hasad, riya, ujub, takabbur dan lain-lain. Hati yang hidup dan terbebas dari penyakit hati inilah yang sering diistilahkan dengan Qalbun Salim. Ini pulalah hati yang ingin ditetapkan oleh Allah dalam diri-diri setiap para pengabdi.

Wallahu A’lam Bishowab

(waiman at almukaromah, 13 April 2017)


Share:

Senin, 10 April 2017

Tergesa-gesa atau lambat ?

Salah satu sifat yang tercela adalah tergesa-gesa (isti’jal), sebab Rasulullah SAW menyatakan bahwa tergesa-gesa adalah dari Syetan:
التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (HR Baihaqi)

Sifat TERGESA GESA berarti bertindak TIDAK TERATUR, biasanya disesak oleh kemarahan, balas dendam atau kepanikan.   Dan biasanya hasilnya justru bukannya bertambah baik tetapi bertambah buruk. Oleh karena itu bergerak tegesa gesa adalah hembusan syetan sementara bergerak tertib dan teratur adalah dari Allah,.

oo-
Bergerak TERATUR dan TERTIB tidak berarti LAMBAT, bahkan tetap harus dilakukan dengan CEPAT dan BERSEGERA, tepatnya CEPAT dan BERSEGERA dalam menunaikan Tugas Risalah dan Kebajikan.  Firman Allah Ta’ala: Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa. Berkata Musa : Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu ya Rabb-ku supaya Engkau ridha (padaku) (QS. 20: 83-84)
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shaleh. (QS 3: 114) ****(wakariem at almukaromah, 11 April 2017)
Share:

MUNAFIQ, infiltrasi musuh Islam

MUNAFIQ: Secara bahasa berarti “menampakan sesuatu yang bertentangan dengan batinnya”. Adapun menurut Al-Qur’an orang munafiq adalah “orang yang bersyahadat (masuk islam), tetapi syahadat (sumpahnya) itu hanya sebagai tameng agar bisa bebas menghalangi manusia dari jalan Allah atau bebas menghancurkan islam dari dalam” . Sederhananya adalah orang yang pura-pura masuk islam dengan tujuan untuk merusak islam dari dalam [lihat QS 63 : 1-3]
Secara dzahir dia adalah ummat islam karena menyatakan keimanannya dengan lisan (bersyahadat), tetapi hakikatnya adalah tidak beriman alias KAFIR [QS 2:8]: “Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.”

Mereka adalah DURI DALAM DAGING, mereka memiliki “Hidden agenda” (misi terselubung), yaitu “memadamkan cahaya Allah” (QS 9:32, 61:8).
Adalah musuh ummat islam yang berusaha menginfiltrasi barisan ummat islam. Semacam intelejen musuh yang setelah berhasil menginfiltrasi, mereka melakukan propaganda negative untuk merusak persatuan atau menyebarkan faham-faham sesat didalam masyarakat islam.
——

Dengan menggunakan berbagai media mereka berhasil membuat opini public yang secara massif mempercayai cerita tersebut. Rumah tangga Rasulullah menjadi hancur diterpa berita tak sedap itu. Aisyah sakit selama sebulan dan Muhammad SAW perlu menyelidiki kasus inipun sampai sebulan, hingga akhirnya ditemukan kebenaran bahwa Aisyah bersih dari tuduhan mereka. Turunlah QS 24:11-12 yang menyatakan bahwa Aisyah itu bersih dari tuduhan palsu tersebut. Tujuan mereka tentu saja untuk melakukan “caracter assassination” (pembunuhan karakter) terhadap Muhammad sebagai pimpinan tertinggi Negara Islam. Untuk menghancurkan wibawa pimpinan.
Mereka juga berhasil memanaskan suasana ketentraman Ummat Islam Kaum Aus dan Khazraz. Dua kabilah yang pernah bertahun-tahun berperang dan kemudian menjadi damai dibawah panji Islam. Perang mulut kedua kabilah ini terjadi dan hampir saja terjadi perang pedang, namun berhasil kembali di damaikan dan diingatkan dengan QS 3:103-105 oleh Rasulullah SAW. Suasana memanas ini tentu saja dikipas-kipas oleh munafiqin. Tujuan mereka tentu saja untuk merusak persatuan ummat Islam.
————
Atau melakukan penetrasi dengan prestasi-prestasi yang memukau, tetapi setelah mencapai puncak kedudukannya melakukan kerusakan yang daya rusaknya sangat dahsyat. Firman Allah SWT: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS 63:4)
————–
Atau merekam dan mencari rahasia-rahasia ummat islam yang kemudian diserahkan kepada musuh. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (QS 60:1)”
——
Share:

TAUHID ; Misi dakwah para Rasul

Para Rasul adalah Utusan Allah Ta'ala yang membawa misi Tauhid, firman Allah Ta'ala: "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS Al-Anbiya :25)

Dalam ranah praksis adalah "Mengajak masyarakat untuk mengabdi kepada Allah Ta'ala dan menjauhi pengabdian kepada Thaguth". Firman Allah Ta'ala: “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36).


Seperti Rasul Musa AS yang mengajak masyarakat beribadah kepada Allah Ta'ala sebagai Rabbul Aalamien (QS Al-Qashash : 29-32). Sekaligus mengajak masyarakat untuk menjauhi Thaguth, yang saat itu adalah Fir'aun dan kerajaannya (QS Thoha :24).

Inilah misi abadi seluruh para Rasul Allah yaitu MISI TAUHID, yang dalam ranah praksis adalah ajak masyarakat untuk mengabdi kepada Allah Ta'ala dan jauhi pengabdian kepada Thaguth:

[1] Nabi Nuh ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 59).

[2] Nabi Hud ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65).

[3] Nabi Shalih ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 73).

[4] Nabi Syu’aib ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 85).

[5] Nabi Ibrahim ‘alaihis salam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (QS. al-Mumtahanah: 4).**** (Wakariem at Almukaromah, 11 April 2017)
Share:

Minggu, 09 April 2017

Hidayah, Petunjuk Jalan Lurus ~bagian 4~

Penjelasan
(QS Al-Fatihah (1) ayat 2 & 5)
HIDAYAH: Petunjuk & Bimbingan
Redaksi ayat ke-6 surat Al-Fatihah adalah Do’a (permohonan). Isi permohonannya adalah memohon kepada Allah SWT. agar diberi petunjuk (Hidayah) ke Jalan yang lurus (Shirathal Mustaqim).

Ihdinash Shirathal Mustaqim, dalam Tafsir Al-Muyassar diuraikan maknanya dengan: “Arahkan kami (dengan ilmu)!, tunjuki kami (dengan hikmah) dan bimbing kami (dengan taufiq)! kepada jalan yang lurus. Dan (juga) kokohkan kami di jalan itu sampai kami menemui-Mu. Jalan itu adalah Dinul Islam, yaitu satu jalan yang jelas akan mengantarkan kepada keridhoan dan surganya Allah; sebagaimana yang telah ditunjuki kepada jalan itu oleh Rasulullah Muhammad SAW. Maka tidak ada jalan menuju kebahagiaan seorang hamba (Allah) kecuali dengan Istiqamah di Jalan itu”. 

Hidayah (petunjuk) yang diminta adalah meliputi dua hal:
1. Hidayah Irsyad wal Bayan (Petunjuk ilmu dan penjelasan argumentasi).
Adalah petunjuk dari Allah SWT. melalui Rasul-Nya sebagai juru dakwah (da’i) atau pimpinan (Imam). Firman Allah SWT.:
وَإِنَّكَ لَتَهۡدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ 
“…dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar- benar memberi petunjuk (hidayah) kepada jalan yang lurus”. (QS. Asy-Syura (42) ayat 52)
 وَجَعَلۡنَٰهُمۡ أَئِمَّةٗ يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk (hidayah) dengan perintah Kami (Allah)…” (QS. Al-Anbiya [21]: 73), lihat juga (QS. As-Sajdah [32]: 24).

2. Hidayah Taufiq wal Amal (Petunjuk berupa bimbingan keyakinan (keimanan) dan keistiqamahan dalam amal shaleh)
Adalah petunjuk Allah SWT. yang merupakan hak preogratif Allah SWT, sebagaimana Firman Allah SWT:
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu (Muhammad), tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qashash, [28]: 56)
Sebagai kasus misalnya Abu Thalib, pamannya Rasulullah SAW. yang sangat mencintainya, bahkan membela dan melindungi Rasulullah SAW. dari gangguan Bangsa Quraisy. Abu Thalib tetap tidak beriman kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya, walaupun Rasulullah SAW. telah menjelaskan Ilmu dan menguraikan argumentasi agar Abu Thalib beriman kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya. Bahkan Rasulullah SAW. mendampingi dan mendakwahinya hingga ke penghujung hidupnya.
Apa sebabnya?. Sebabnya karena tergeraknya hati untuk beriman dan istiqamah adalah sangat tergantung kepada Hidayah (petunjuk) yang sangat halus dan merupakan hak mutlak Allah SWT. Karena Allah SWT-lah Dzat yang Kuasa membolak-balikkan hati manusia. Kuncinya adalah berusaha untuk hidup dalam bimbingan Rasulullah SAW. sebagai Da’i atau Pemimpin dan selalu berdo’a agar mendapat bimbingan dari Allah SWT. berupa taufiq.

Shirathal Mustaqim
Permohonan kita adalah permohonan kepada Allah SWT. di beri Hidayah (petunjuk) ke Shirathal Mustaqim (jalan yang lurus).
Ahli tafsir menjelaskan Shirathal Mustaqiem kepada empat pengertian yang berbeda-beda, tetapi semuanya saling menguatkan:
  1. Shirathal Mustaqiem adalah Al- Haq (kebenaran).
  2. Shirathal Mustaqiem adalah Dinul Islam .
  3. Shirathal Mustaqiem  adalah Kitabullah (Al-Qur’an).
  4. Shirathal Mustaqiem adalah Jalannya Rasulullah SAW dan Khilafah Rasyidah.
Firman Allah SWT.:  “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab dan kepada orang-orang yang ummi, ‘Sudahkah kamu masuk Islam?’ Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran (3) ayat 20).
Ayat 20 surat Ali Imran di atas menjelaskan bahwa mereka yang mendapat petunjuk adalah mereka yang masuk ISLAM. Sementara Islam adalah Ad-Dien (Sistem Hidup) yang bersumber dari Allah SWT., firman-Nya: Sesungguhnya Dien (yang benar) di sisi Allah adalah Islam (QS. Ali Imran [3]: 19).
Jadi inilah Shirathal Mustaqiem yaitu Dinul Islam sebagai “Way of Life”.
  • Shirathal Mustaqiem jika diartikan Al-Haq karena memang Dinul Islam adalah Al-haq (kebenaran) yang bersumber dari Allah SWT., lihat QS. Ali Imran (3) ayat 19 dan 85.
Firman Allah: “Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus (Shirathal Mustaqiem), yaitu Dinul Haq, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik”(QS. Al-An’am (6) ayat 161).
  • Shirathal Mustaqiem jika diartikan Kitabullah, karena Al-Qur’an adalah sumber hukum tertinggi yang diberlakukan dalam Dinul Islam (QS. Al-Maidah (5) ayat 48); sementara jika diartikan Rasulullah SAW dan para Khilafah Rasyidah, karena Rasulullah dan Khalifah Rasyidah adalah pemimpin dalam Dinul Islam (QS. An-Nisa (4) ayat 59).
Kesimpulannya: Shiratal Mustaqiem adalah Dinul Islam (Sistem Islam) yang sistem hukum nya adalah Al-Qur’an dan sistem kepemimpinannya adalah Rasulullah SAW. dan para Khilafah sesudahnya.
Lebih lengkap lihat QS. Al-Fath (48) ayat 28: “Dialah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk (Al-Qur’an) dan Dinul Haq, agar dimenangkan-Nya terhadap semua Ad-Dien”.
Memohon ditunjuki ke Shirathal Mustaqiem (jalan yang lurus) adalah memohon agar ditunjuki kepada Sistem Islam dan Istiqamah di dalamnya. Shirath Al-Mustaqiem (jalan lurus) itu hanya satu, yaitu Dinul Islam dan di luar itu adalah jalan yang bengkok dan menyimpang. Firman Allah SWT:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa“.  (QS. Al An’am, [6]: 153).
Rasulullah SAW. mempertegas  tentang ayat di atas.  Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan: Suatu ketika Rasulullah SAW.  pernah membuat satu garis lurus, kemudian beliau bersabda, “ Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau membuat garis-garis yang banyak di samping kiri dan kanan garis yang lurus tersebut. Setelah itu beliau bersabda , “Ini adalah jalan-jalan (menyimpang). Di setiap jalan tersebut ada syetan yang menyeru kepada jalan (yang menyimpang) tersebut. (HR. Ahmad)

Pembelahan Manusia pada Dua Jalan
Surat Al-Fatihah ayat 6-7 juga memberi faidah bahwa manusia pada hakikatnya terbagi 2; 
(1) manusia yang berada dan Istiqamah dalam Shirathal Mustaqiem
(2) manusia yang berada dalam Shirathal Jahiem. Shirathal Jahiem istilah Al-Qur’an bagi Shirath (jalan) yang ditempuh oleh mereka yang kafir dan munafiq yang akan digiring oleh Allah SWT. kelak di akhirat menuju Neraka Jahiem, lihat QS. Ash-Shaffat [37]: 22-23.

  • Para Penempuh Shirathal Mustaqiem
Penempuh Shirathal Mustaqiem (jalan lurus) adalah mereka yang telah diberi nikmat oleh Allah (an’amta ‘alaihim) sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat ke-7 surat Al-Fatihah. Adapun mereka yang telah diberi nikmat Allah SWT. tersebut adalah: para Nabi, ShiddiqinSyuhada dan Shalihin. Firman Allah SWT.: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin , orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya(QS. An-Nisaa’ [4]: 69).
Nabiyyin adalah para Nabi, para Rasul Allah SWT. yang mendapat amanah sebagai pemimpin ummat Islam.
Shiddiqin artinya adalah orang-orang yang membenarkan apa yang dibawa oleh para Rasul Allah SWT. Mereka adalah manusia-manusia yang selalu berada disisi Rasulullah SAW., menyertai rasul dan membelanya.
Syuhada artinya orang yang mati dalam melaksanakan bakti suci jihad Fisabilillah. Orang yang matinya dalam bakti suci, maka hidupnya harus  selalu berada dalam tugas bakti suci. Mereka adalah para pejuang-pejuang Islam dalam rangka mentegakkan Dinul Islam dan meninggikan kalimatillah.
Shalihin adalah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, atau sering disebut dengan sebutan orang-orang shaleh. Mereka adalah orang-orang yang mema’rifati kebenaran dan menetapi Shirath Mustaqiem dengan Istiqamah.
  • Para Penempuh Shirathal Jahiem
Para penempuh Shirathal Jahiem (jalan bengkok yang membawa ke neraka) adalah dua kelompok orang, yang dalam QS. Al-Fatihah ayat 7 disebut sebagai kelompok Maghdub (orang yang dibenci Allah) dan kelompok Dhallin (orang yang sesat). Kedua kelompok tersebut adalah kelompok-kelompok yang menyimpang dari Shirathal Mustaqiem.
Mengenai kelompok Magdhub dan Dhallin ini, Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya Al-Maghdub (orang yang dibenci) adalah Yahudi dan Adh-Dhallin (orang yang sesat)  adalah Nasrani”. (H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan yang lainnya).
Bahwa orang Yahudi adalah kelompok yang dibenci Allah SWT. (magdhub), Al-Qur’an juga menjelaskan: “Katakanlah : ‘Apakah akan aku beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah?’ Yaitu orang-orang (yahudi) yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi.” (QS. Al-Maidah, 5: 60).
Al-Qur’an menjelaskan pula kesesatan (dhallin)-nya orang Nashrani: “Katakanlah, ‘Wahai ahli kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia) dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah, 5 : 77).
Mengapa Yahudi menjadi kelompok terlaknat/Magdhub dan kenapa orang Nashrani menjadi kelompok tersesat/Dhallin ?.
Yahudi menjadi terlaknat karena pembangkanganya setelah ma’rifat (mengetahui kebenaran), misalnya pembangkangan kepada kebenaran yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW padahal mereka tahu kebenaran apa ayang dibawa Rasulullah SAW. Bahkan, mereka mengetahui Muhammad SAW (dengan kebenaran yang dibawanya) seperti mengetahui anak-anak mereka sendiri, firman Allah ta’ala“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.” (QS. Al-Baqarah, 2: 146).
Atau pembangkangan Iblis kepada perintah Allah SWT. untuk sujud kepada Adam A.S. (QS. Al-A’raf (7) ayat 12). Pembangkangan Iblis tersebut justru bukan karena si Iblis tidak mengetahui kebenaran perintah tersebut, tetapi karena kesombongannya. Oleh sebab itulah Iblis juga di Laknat dan di kutuk (maghdhub), sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Hijr, [15]: 33-35.
Adapun Nashrani menjadi tersesat jalan (dhallin) karena ketiadaan ma’rifat (pengetahuan) akan kebenaran sehingga mereka menjadi menyimpang dari Shirathal Mustaqiem. Mereka hanya mengikuti kesesatan orang-orang pendahulunya. Mengenai kesesatan orang nashrani ini firman Allah“Katakanlah, ‘Wahai ahli kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia) dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus’.” (QS. Al-Maidah, [5]: 77).
Dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa Al-maghdub adalah orang yang mema’rifati (mengetahui) kebenaran tetapi membangkang terhadap kebenaran. Sementara Dhallin adalah orang yang tidak mengetahui kebenaran sama sekali.
Merekalah para penempuh Shirath Jahiem yang akan mengantarkan kepada neraka, dan mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari Shirath Mustaqiem. Kita memohon kepada Allah SWT. untuk tidak termasuk golongan tersebut.*** (waiman at Almukaromah, 10 April 2017).

pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU

Daftar Pustaka:
  1. Ibnu Katsir, “Tafsir Al-Qur’anul Adzhiem”, Al Ayaat versi 132.
  2. Syaikh Sholih bin Abdul ‘Aziz , “Tafsir Al-Muyassar”, Al Ayaat ver. 132.
Share:

Hamdalah, Menjalani Hidup dengan Syukur ~bagian 3~

Penjelasan
(QS Al-Fatihah (1) ayat 2 & 5)
Hamdallah adalah sebutan bagi kalimat “Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamin” sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Fatihah ayat ke 2.
Para ulama ahli bahasa menjelaskan bahwa “AL” dalam lafadz Al-Hamdu memiliki fungsi Lil Istigraq yaitu memiliki fungsi menyatakan keseluruhan jenis. Maka lafadz Al-hamdu diartikan segala pujian.
Adapun “LI” dalam lafadz Lillah memiliki tiga makna:
  1. Lil Ikhtishash (mengkhususkan) artinya khusus untuk Allah SWT.
  2. Lil Istihqaq (menjelaskan hakikat) artinya hak Allah SWT.
  3. Lil Milki (kepemilikan) artinya milik Allah SWT.
Maka Al-Hamdu Lillah artinya : “Seluruh pujian yang haq adalah milik dan khusus untuk Allah SWT”.
Lafadz majemuk “Rabbil ‘Aalamin” adalah keterangan dari Allah SWT. artinya bahwa pujian tersebut adalah; hak, milik dan untuk Allah SWT. yang memiliki Asma Rabbul ‘Aalamin (Pengatur semesta alam).

Hamdallah adalah Ekspresi Rasa Syukur
Ibnu Jarir berkata: “Adalah kalimat syukur yang murni ikhlas bahwa Allah sebagi satu-satunya Rabb yang disembah serta atas nikmat-nikmat-Nya kepada makluk-Nya”.

Ibnu Abbas berkata:  “Hamdallah merupakan perkataan setiap orang yang bersyukur.
Rasulullah SAW bersabda:
“مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ إِلَّا كَانَ الَّذِي أَعْطَاهُ أَفْضَلَ مِمَّا أَخَذَ”
“Andaikan setiap hamba mendapatkan kenikmatan dari Allah, ia mengucapkan alhamdulillâh; niscaya apa yang ia berikan (berupa pujian terhadap Allah) lebih utama dibandingkan apa yang ia terima (berupa kenikmatan Allah tersebut).” (H.R. Ibn Majah)
Hamdallah diucapkan oleh Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaeman a.s atas nikmat Ilmu yang diberikan Allah SWT. kepada keduanya: “Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman”. (QS. 27:15).
Allah  memerintahkan Nabi Nuh AS dan pengikutnya untuk mengucapkan Hamdallah, jika sudah menaiki “Bahtera Nuh”, sebagai ucapan syukur telah dipisahkan dan diselamatkan oleh Allah SWT dari kaum yang zhalim: “Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zhalim.” (QS. 23:28).
Penduduk syurga juga mengucapkan Hamdallah sebagai tanda syukur atas petunjuk Allah SWT. yang telah membimbingnya ke dalam syurga: “…dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki Kami kepada (surga) ini. Dan Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi Kami petunjuk (QS. 7:43).
Ucapan Hamdallah juga diucapkan karena kenikmatan yang Allah SWT. berikan setelah dimusnahkannya orang-orang zhalim : Maka orang-orang yang zhalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. 6:45).
Dan masih banyak ayat-ayat Al-Qur’anul Kariem yang mengungkap Hamdallah sebagai ekspresi orang bersyukur dan berterima kasih atas segala nikmat Allah Rabbul ‘Aalamien.

Aktualisasi Syukur dengan Ibadah dan Isti’anah

Penjelasan ayat 5 surat Al-Fatihah
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS. Al-Fatihah (1) ayat 5)

  • Hanya kepada Allah SWT.
Dalam bahasa Arab, redaksi ayat 5 surat Al-Fatihah ini adalah Jumlah Fi’liyyah (pola SPOK dalam bahasa Indonesia). Biasanya dalam bahasa Arab Kata Kerja (Fi’il) dan Subjek (Fa’il) didahulukan daripada Objek (Maf’ul). Tetapi dalam redaksi Iyyaka Na’budu, begitu pula dalam redaksi Iyyaka Nasta’ien, Objeknya didahulukan daripada Kata Kerja dan Subjek. Padahal bisa saja redaksinya Na’budu Iyyaka wa nastaienu Iyyaka (kami beribadah kepada-Mu dan kami memohon pertolongan kepada-Mu).
Menurut Ibnu Katsir, hikmahnya didahulukan Objek daripada Kata Kerja adalah: Lil Ihtimam  (untuk menarik perhatian) dan al-Hashr (membatasi), sehingga maknanya adalah “Kami tidak akan beribadah kecuali kepada-Mu dan kami tidak akan bertawakkal kecuali kepada-Mu”.
Penjelasan Ibnu Katsir ini disandarkan kepada Firman AllahMaka beribadahlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan”. (QS. Huud, 11 : 123).

  • Ibadah dan Isti’anah adalah kerja seorang mukmin sebagai wujud syukur.
Surat Al-Fatihah ayat 1 sampai 4 adalah Khabar (informasi) yang  menguraikan fakta-fakta kebenaran Asma (nama), Sifat (karakter) dan Af’al (perbuatan) Allah SWT. yang wajib diimani seorang mukmin.
Sementara ayat 5 surat Al-Fatihah adalah menguraikan tuntutan-tuntutan  yang wajib ditunaikan (amal Shaleh) oleh  hamba-Nya yang sudah beraqidah.
Jadi ayat 1-4 surat Al-Fatihah adalah menjelaskan pokok-pokok  keyakinan (Iman), sementara ayat 5 surat Al-Fatihah adalah menjelaskan pokok-pokok  perbuatan (amal shaleh).  Adapun pokok-pokok amal shaleh itu adalah Ibadah (pengabdian) dan Istianah (tawakkal) kepada Allah SWT.
Ibadah Secara bahasa dalam kamus Al-Munjid mengandung lima arti:
  1. Wahhadahu/meng-Esa-kan Allah SWT.,
  2. Khaddamahu/melayani kehendak-Nya,
  3. Khodla’a Lahu/tunduk patuh berserah diri pada-Nya,
  4. Dzalla ‘Alaihi/berendah diri dihadapan-Nya, dan
  5. Tho’a lahu/taat pada perintah-Nya.
Senada dengan Ma’luf, Raghib Al-Isfahany dalam Mufrodat Alfadz Al-Qur’an , mengatakan bahwa: “Ubudiyyah adalah menampakkan kerendah dirian. Sementara IBADAH berpangkal dari rasa rendah diri. Karena sesungguhnya Ibadah itu adalah puncak kerendah dirian, dan hal itu tidak bisa dihaturkan kecuali hanya kepada Pemilik puncak keutamaan yaitu Allah Ta’ala”.
Pengertian Ibadah menurut bahasa tersebut kemudian dirangkum oleh Ibnu Katsir ,  yang menyimpulkan bahwa Ibadah kepada Allah SWT. itu adalah menghimpun tiga kesempurnaan sikap yaitu:
  1. Kamaalul Mahabbah (kesempurnaan rasa cinta kepada Allah SWT.),
  2. Kamaalut Tadzalul (kesempurnaan rasa rendah diri di hadapan Allah SWT.), dan
  3. Kamaalul Khudlu’  (kesempurnaan ketunduk patuhan kepada perintah dan hukum Allah SWT.).
Beribadah menurut berbagai pandangan para Ulama kiranya dapat dibagi dalam 3 ranah:
  1. Ranah keyakinan: Bertauhid,
  2. Ranah Jiwa: Rasa Rendah diri dan Cinta kepada Allah SWT,
  3. Ranah aksi: Taat kepada perintah dan hukum Allah SWT.
Ibadah dalam ranah keyakinan dan kondisi Jiwa sudah dijelaskan dengan QS. Al-Fatihah ayat 1 sampai 4, sementara ayat 5 ini adalah tuntutan kerja atau aksi, maka yang mendekati maksud “Hanya kepada-MU kami beribadah” adalah: “Hanya kepada-MU kami taat, yaitu dengan mentaati hukum Allah”. Disinilah Ibadah sama pengertiannya dengan Taqwa. 
Isti’anah, artinya adalah memohon pertolongan Allah SWT. Memohon tolong dan bantu Allah SWT. menunjukkan pengetahuan dan kesadaran akan kelemahan diri, sehingga diri yang lemah ini menyandarkan dan mewakilkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Disini makna Isti’anah sama dengan tawakkal sebagimana yang dijelaskan oleh Ibnu katsir dalam tafsirnya: “Maka kerja seorang mukmin adalah Taqwa (Ibadah) dan Tawakkal (Isti’anah)”.

  •  Ibadah dan isti’anah adalah wujud syukur.
Hamdallah dalam QS. Al-Fatihah ayat 2 adalah ekspresi syukur seorang mukmin atas segala nikmat yang telah Allah SWT. berikan. Syukur itu sendiri didefinisikan oleh para ulama dengan: “Mendayagunakan seluruh nikmat pemberian Allah SWT. sesuai keinginan yang memberinya yaitu Ibadah”.
Di sinilah kita mendapat pengertian bahwa Hamdallah/Syukur dalam ayat 2 surat Al-Fatihah aplikasinya adalah Ibadah (Taqwa) dan Isti’anah (Tawakkal) kepada Allah SWT. seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Fatihah ayat 5.

  • Beribadah dalam Koridor Jama’ah.
Menarik juga ketika kita memperhatikan Subjek (pelaku) Ibadah (Taqwa) dan Isti’anah (Tawakkal) dalam QS. Al-Fatihah ayat 5. Subjek pelakunya adalah kata ganti orang pertama jamak yang artinya adalah “kami”.
Perihal ini memberi pengertian yang tegas kepada kita, bahwa aksi pengabdian yang dibarengi dengan tawakkal mestilah merupakan aksi Jama’ah.  Firman Allah Ta’ala: “Dan berpeganglah kamu kepada tali (agama) Allah dengan berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. 3:103).**** (Waiman at Almukaromah, 10 April 2017).
pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU

Daftar Pustaka:
  1. Ibnu Katsir, “Tafsir Al-Qur’anul Adzhiem”, Al-Ayaat versi 132.
  2. Luis Ma’luf, “Al-Munjid Fillughah”, Darul Qalam – Damaskus.
  3. Raghib Al-Isfahani, “Mufrodat Alfadz Al-Qur’an” Darul Qalam – Damaskus Th 1996.
Share: