Sabtu, 04 Februari 2017

Tayamum bagi Musafir



TANYA:

Bolehkah bertayamum ketika bepergian (safar) padahal ada air ?

JAWAB:

Tayamum adalah rukhshah (keringanan) dari Allah SWT sebagai pengganti wudlu’ dikarenakan mendapati keadaan-keadaan khusus. Adapun mengenai syari’at Tayamum dan sebab-sebab yang membolehkan tayamum pengganti wudlu adalah terdapat dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُواْ وَإِنْ كُنْتُمْ مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُواْ مَآءً فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوّاً غَفُوراً. ﴿النساء:٤٣﴾

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati untuk jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau berhubungan dengan istri, sedang kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun”. (QS An-Nisâ: 43)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. ﴿المآئدة: ٦﴾

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah, Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau berhubungan dengan istri, sedang kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS Al-Mâidah: 6).

Para Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya bertayamum bagi musafir (orang yang bepergian) padahal ada air.

Pendapat I

1. Redaksi ( فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً ) yang artinya “sedang kamu tidak mendapatkan air” dalam dua ayat itu kembali kepada keseluruhan yang disebut dalam ayat itu yaitu orang yang: (1) Sakit, (2) bepergian dan (3) berhadats.

Ini artinya yang safar (bepergian) hanya boleh tayamum jika tidak mendapatkan air.

2. Hadits yang menjadi Asabab Nuzul ayat tayamum: Dari ‘Âisyah sesungguhnya beliau meminjam kalung kepada Asmâ’, lalu (kalung tersebut) hilang (dalam perjalanan), maka Rasulullah SAW. mengutus seseorang (untuk mencarinya). Kebetulan waktu shalat telah tiba dan tidak ada air bersama mereka, maka mereka pun shalat. Hal itu diadukan kepada Rasulullah, maka Allah menurunkan ayat tayammum. Usaid bin Hudloir berkata kepada ‘Âisyah, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, demi Allah tidaklah terjadi kepadamu sesuatu yang engkau benci kecuali Allah menjadikan hal tersebut sebagai kebaikan bagimu dan kaum muslimin”. (HR Imâm Al-Bukhôriy

Asbab Nuzul ayat ini berkaitan dengan kejadian Rasulullah dan para Sahabat bertayamum dalam safar (bepergian) ketika tidak ada air.

Berdasarkan hal-hal diatas maka sebagian ulama berpendapat tidak boleh tayamum bagi yang safar disaat air tersedia.



Pendapat II

1. Redaksi ( فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً ) yang artinya “sedang kamu tidak mendapatkan air” dalam dua ayat itu kembali kepada tidak kembali kepada keseluruhan yang disebut dalam ayat itu yaitu orang yang: (1) Sakit, (2) bepergian dan (3) berhadats; tetapi kembali kepada yang terdekat yaitu orang yang berhadats tapi tidak mendapatkan air.

Jika redaksi “tidak mendapatkan air” itu kembali kepada keseluruhan, maka sia sia penyebutan orang yang sakit dan bepergian, sebab yang sehat dan muqim (tidak bepergian)pun, jika tidak mendapatkan air mesti bertayamum. 

Jadi yang membuat bolehnya tayamum berdasar dua ayat diatas adalah:

(1) sakit
(2) Bepergian
(3) Tidak mendapatkan air (bagi yang sehat dan muqim)


2. Mengenai Asbab Nuzul yang disebutkan diatas masih bersifat Mujmal (samar): apakah tayamum karena tidak ada air? Atau karena safar / bepergian? Atau karena keduanya?

Berdasarkan kaidah ushul Fiqh:

وقائع الأحوال مجملة لا تنهض دليلا

“Dalil (argumentasi) tidak bisa ditegakan berdasarkan fakta-fakta yang samar”

Dalam hal ini, maka Asbab Nuzul dengan makna yang samar atas solusi hukum tidak bisa dijadikan dalil, justru dikembalikan kepada makna yang jelas dalam Al-Qur’an bahwa udzur syar’I yang menyebabkan bolehnya tayamum adalah (1) sakit, (2) bepergian dan (3) tidak ada air.

Disini berlaku kaidah: 

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

“Pelajaran itu diambil dari keumuman lafadz bukan dari kekhususan sebab.”

Berdasarkan hal-hal diatas maka sebagian ulama berpendapat bolehnya tayamum bagi yang safar disaat air tersedia.

KESIMPULAN:

Kami memilih (tarjih) Thariqatul Jam’I (jalan tengah) dari kedua pendapat tersebut yaitu bolehnya bertayamum bagi yang safar (bepergian), baik ketika ada atau tidak ada air. Tetapi lebih disukai (sunnat) berwudlu daripada bertayamum, sebab ada keterangan, bahwa Rasulullah SAW berwudlu disaat bepergian:

Hadits diterima dari Al-Mughirah bin Syu’bah, sesungguhnya dia bersama Rasulullah sallalahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan, lalu beliau pergi untuk melakukan “hajat”. Dan sesungguhnay Mughiroh mengucurkan air kepada beliau sewaktu beliau berwudhu. Kemudian beliau mencuci wajahnya, kedua tangannya, mengusap kepalanya dan mengusap kedua sepatunya. (Shahih al-Bukhari I : 188)

Dalam salah satu kaidah Ushul:

وأفعاله صلى الله عليه وسلم مندوب إليها ليست بواجبة إلا بدليل

Perbuatan-perbuatan Nabi sallalahu ‘alai wasallam menunjukkan anjuran (sunat) dan tidak menunjukkan wajib kecuali ada dalil (yang menunjukkannya)


Maka kesimpulan kami: 

1. Bagi yang safar (bepergian) dan tidak ada air maka wajib,  mengganti bersucinya dengan, tayamum.
2. Bagi yang safar (bepergian) dan ada air maka lebih disukai (sunat) berwudlu dibanding tayamum.

Wallahu A’lam Bishawab. **** (wakariem)



Wassalaam



Almukaromah, 4 Februari 2017
Share:

0 komentar:

Posting Komentar