Kamis, 02 Maret 2017

Sejarah KOMUNISME Indonesia dan pemberontakan 1926

VIRUS DARI KOMUNIS BELANDA

Adalah seorang sosialis (komunis) Belanda bernama Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, pada tahun 1913, diyakini sebagai pembawa virus komunisme di Indonesia. HJM Sneevliet kemudian mendirikan sebuah organisasi sosialis yang bernama ISDV (Indische Sociaal-democratische Vereeniging), di Semarang pada bulan Mei 1914.
.
Pada mulanya ISDV beranggotakan orang-orang Eropa, namun disadari olehnya, pada akhirnya ISDV secara organisasi sulit berkembang. Mulailah HJM Sneevliet menggarap orang-orang pribumi. Hal ini dilakukan ketika pada tahun 1916, H.J.M. Sneevliet aktif dalam Vereniging Spoor en Tramweg-Personeel (VSTP) atau Sarekat Buruh Kereta Api dan Trem. Dari organisasi ini dibinalah Samaoen, seorang buruh kereta api pindahan dari Surabaya yang baru berusia 17 tahun (lahir 1899 M), sebagai kader. Selanjutnya pada tahun 1916, Darsono (lahir 1897 M) usia 19 tahun, Alimin Prawirodirdjo (1889 – 1964) usia 27 tahun, dan Tan Malaka (1897 – 1949 M) usia 19 tahun, menjadi kader ISDV dan VSTP.
.
Samaoen, Alimin dan Darsono adalah murid HOS Cokroaminoto yang berhaluan Islam, bahkan Samaoen menduduki ketua Cabang Sarekat Islam (SI) Semarang. Mereka direkrut dan dikader menjadi aktifis komunis di bawah HJM Sneevliet.
Apa yang dilakukan oleh HJM Sneevliet terhadap ketiga kader SI cabang Semarang pada intinya adalah taktik infiltrasi ke dalam tubuh Sarekat Islam yang saat itu tumbuh menjadi organisasi rakyat yang besar memiliki ratusan ribu anggota dan juga sangat disegani. Tidak hanya di Sarekat Islam, Sneevliet juga menginfiltrasikan anggota ISDV Mr. Brandstender ke dalam serdadu Angkatan Laut Belanda dan Ir. Adolf Baars ke kalangan pegawai negeri berkebangsaan Belanda.
Pada Tahun 1917 golongan Komunis muda berhasil melaksanakan revolusi di Rusia. Peristiwa ini kemudian dimanfaatkan secara maksimal oleh Sneevliet yang dengan terang-terangan menyerukan agar penganut Marxisme (komunisme) di Indonesia mengikuti Rusia.
Ketika Sneevliet ditarik ke Belanda pada tahun 1918, Samaoen menggantikannya menjadi ketua ISDV. Dengan kedudukannya sebagai ketua ISDV, Samaoen merasa sejajar dengan para ketua SI di CSI (Central Sarekat Islam).
Dalam Kongres Nasional Central Sjarikat Islam keempat (1919), kelompok kader ISDV mulai berani menyerang pimpinan CSI: HOS Cokroaminoto, Abdoel Moeis, Agoes Salim dan Soerjopranoto. Mereka berusaha mengganti ideologi Islam dengan Marxist. Golongan Komunis di dalam Sarekat Islam melalui Darsono menyatakan ketidak-percayaan terhadap kepemimpinan Cokroaminoto, terutama mengenai persoalan keuangan. Sehingga SI terpecah kepada dua: SI Putih (idiologi Islam) dipimpin oleh HOS Cokroaminoto dan SI Merah (idiologi Komunis) dipimpin oleh Samaoen.

Keterangan Abu Hanifah: “Tetapi beberapa cabang telah amat terpengaruh oleh kader radikal sosialisme, yang sebenarnya ialah marxis, leninis atau komunis. Fraksi radikal sosialisme dipimpin oleh Samaoen. Keadaan politik bertambah keruh. Pemerintah Belanda menahan Sneevliet dan dibuang keluar Indonesia. Ia berangkat ke Moskow tahun 1918. Dalam kongres IV Sarekat Islam, timbul perpecahan secara terang-terangan (tahun 1919)”.

Lenin (Komunis Rusia) menggariskan bahwa untuk tercapainya Revolusi Dunia, hendaknya didirikan Partai Komunis di tiap-tiap negara. Sebagai tanggapan atas penggarisan Lenin tersebut, dalam Kongres ISDV VII pada tanggal 23 Mei 1920 di kantor SI Semarang diusulkan oleh Adolf Baars agar ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia Belanda (PKH) sebagai bagian dari jaringan Komunis Internasional. Setelah melalui perdebatan sengit, akhirnya ISDV dirubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia Belanda (PKH), dengan ketua Semaun. Adolf Baars berkomentar: “hanya dengan diktator proletariat, satu-satunya cara untuk membangun masyarakat sosialis”.

Dalam kongres PKH di Semarang (24 Desember 1920), diambil keputusan akan memasukkan PKH ke dalam Comintern (Communits International), yang merupakan forum dan pusat eksekutif bagi partai-partai Komunis seluruh dunia. Putusan diambil akan menyertai Internationale ketiga di Moskow (Rusia).

Kongres SI ke-enam diadakan di Surabaya (6-11 Oktober 1921), dan disetujui adanya disiplin partai. Partai SI memberlakukan peraturan partai yang baru, yang tidak lagi memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda. Sebagai akibat dilaksanakannya disiplin partai, maka Samaoen, Darsono dan kawan-kawannya dikeluarkan dari SI. Dan kini secara terbuka Islam dan Komunisme saling berhadapan, saling menolak dan saling menyerang. Dengan adanya disiplin partai ini selamatlah SI dari infiltrasi Komunis, dan Komunis dapat dihalau dari tubuh Sarekat Islam beserta faham fahamnya.

Kongres PKH di Semarang (24-25 Desember 1921), PKH adalah sama sekali bersifat Komunis. Dengan terus terang mereka itu mengakui bahwa pemimpin-pemimpin Soviet yang besar (seperti Lenin dan Trotsky) sebagai pahlawan-pahlawannya. Kongres itu dipimpin oleh Tan Malaka, karena ketuanya Samaoen dan wakil ketua Darsono sudah berangkat ke luar negeri dalam bulan Oktober 1921 untuk merapatkan perhubungan dengan Moskow. PKH dirubah namanya oleh Samaoen menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tanggal 27 Juni 1924. Dan PKI merupakan bagian dari jaringan komunis Internasional yang berporos kepada Rusia.
PEMBERONTAKAN 1926.
Lahan subur bagi PKI tercipta, dimana krisis ekonomi  melanda dunia pada tahun 1920. Prinsip pertentangan kelas yang dianut PKI mendapatkan basisnya di tengah-tengah kemiskinan masyarakat. Dalam propaganda politiknya, ideologi komunis menempatkan kaum proletar (masyarakat miskin dan kaum buruh) serta masalah yang menimpa kelas tersebut sebagai isu utama perjuangan. Dalam kondisi krisis tersebut, PKI berhasil menggalang massa untuk melakukan tindakan-tindakan radikal revolusioner. Pemogokan-pemogokan pegawai pegadaian pada tahun 1922, pemogokan buruh kereta api pada tahun 1923 merupakan aksi PKI untuk menghadapi krisis tersebut. Titik kulminasi dari radikalisme ini tercapai pada pemberontakan komunis pada tahun 1926 di Jakarta, disusul dengan tindakan-tindakan kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tan Malaka dianggap penyebab kegagalan pemberontakan 1926. Ia merupakan tokoh PKI (anggoga Komintern), yang menolak pemberontakan pada 1926-1927. Sebelumnya, ia mendapat informasi soal rencana pemberontakan dari Alimin di Manila, Filipina.

Tan Malaka memandang menolak keputusan kelompok Prambanan (Samaoen, Alimin, Darsono dan Muso) pada tanggal 25 Desember 1925 yang merencanakan pemberontakan 1926 yang diawali dengan aksi-aksi illegal. Menurut Tan Malaka PKI belum siap. Dari tempat persembunyiannya di Singapura, ia bahkan telah menulis pandangannya lewat sebuah risalah bertajuk Massa-Actie (1926, terbit ulang 1947). Dalam buku kecil itu ia menampik rencana kelompok Prambanan seraya menyimpulkan bahwa rencana pemberontakan itu merupakan tindakan blunder yang bisa menjadi bumerang terhadap partai sendiri, bahkan juga terhadap semua partai nasionalis.
Akibatnya Tan Malaka keluar dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di perantauan Bangkok pada 1927. PARI tenggelam sendiri dan pada tahun 1947 ia mendirikan Partai MURBA (Musyawarah Untuk Orang Banyak). Sikap Tan Malaka ini bukan hanya karena sudah tidak sejalan dengan rekan-rekannya di PKI tetapi juga tidak sejalan dengan Komintern (komunis Internasional), yang dipandangnya lebih dijadikan alat kepentingan Internasionalnya Moskow. Ia juga berbeda pandangan dengan Komintern setelah ia mengemukakan untuk bekerjasama dengan PAN ISLAMISME. Komintern justru memandang Pan Islamisme adalah musuh Internasionalismenya Komunis.
Sebenarnya Moskow sendiri sebagai pusat pergerakan Komunis Internasional tidak menyetujui pemberontakan karena situasinya belum kondusif.
Pemberontakan (1926) ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.**** (waiman)

Sumber:

1.  Ahmad Mansur Suryanegara, API SEJARAH I & II, penerbit Salamadani – Bandung, cet. kedua Oktober 2009.
2.  Sekretariat negara RI, “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, penerbit Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994.
3.  DR Anwar Harjono SH, “Perjalanan Politik Bangsa”, penerbit Gema Insani Press – Jakarta, cetakan pertama tahun 1997.

tulisan ini pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU... semoga bermanfaat.

Almukaromah, 3 maret 2017
Share:

0 komentar:

Posting Komentar