Penjelasan
(QS Al-Fatihah (1) ayat 1)
Basmallah, menjadi dasar hidup karena titah Rasulullah SAW, agar memulai segala aktifitas yang baik (penting) dengan Basmallah. Tentu saja bukan hanya ucapan tetapi pernyataan, yakni menyatakan dengan lisan apa yang diyakini dalam hatinya.
Bagi seorang mukmin, pernyataan (qaul) lisan itu adalah selaras dengan apa yang bertahta dalam sukma; sebab jika tidak selaras antara ucapan dan keyakinan berarti nifaq (orangnya disebut munafiq), firman Allah SWT.: “Dan di antara manusia (yaitu orang munafiq) yang mengatakan : “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang beriman” (QS. Al-Baqarah (2) ayat 8).
Agar perbuatan baik itu tidak terputus, tapi sampai kepada ujungnya yakni Mardhatillah (Ridha Allah Ta’ala), maka hendaklah dimulai atau didasari dengan Asma (nama) Allah SWT. Diyakini bahwa Asma Allah SWT. bukan sekedar nama yang indah, tetapi juga karakter (sifat) dan perbuatan (af’al). Di sinilah Basmallah mengandung arti Tauhid dan menjadi dasar hidup manusia menuju Ridha Allah SWT.
Adapun Nama-nama Allah SWT. yang dijadikan dasar hidup yang diungkapkan dalam QS. Al-Fatihah itu ada 3 yakni:
- Ar-Rahman Ar-Rahim / Maha pengasih lagi Maha Penyayang. ( QS. Al-Fatihah ayat 1 dan 3),
- Rabbul Aalamin / Pengatur Alam. (QS. Al-Fatihah ayat 2) dan,
- Maalik Yaumid Din / Penguasa Hari Pembalasan. (QS. Al-Fatihah ayat 4).
Bahwa keyakinan Tauhid (Iman), harus menjadi dasar hidup, sekaligus pengabsah amal adalah sebagimana firman Allah SWT.: “Siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki atau perempuan sedang dia itu mukmin, maka Kami akan berikan kepadanya penghidupan yang baik serta Kami akan memberikan kepadanya balasan dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan” (QS. An Nahl [16]: 97). Sebaliknya jika musyrik (tidak bertauhid), maka amalnya akan sia-sia dan dihapus, sebagimana firman Allah: “Dan bila mereka berbuat syirik, maka lenyaplah dari mereka apa yang pernah mereka amalkan”. (QS. Al-An’am [6]: 88)
Asma Allah SWT. (Tauhid) sebagai Fondasi Hidup
[1]
PERTAMA. Asma Allah SWT., “Ar-Rahman Ar-Rahiem” (QS. Al-fatihah (1) ayat 1 dan 3).
Pengertian Ar-Rahman Ar-Rahim.
Nama Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahim diulang dua kali dalam surat Al-fatihah, yaitu ayat 1 dan ayat 3. Ar-Rahman dan Ar-Rahiem adalah dua nama Allah SWT. yang berasal dari akar kata yang sama yaitu Ra – Ha dan Ma, keduanya menunjukkan bahwa Allah SWT. itu adalah pemilik Rahmat (kasih sayang) kepada seluruh makhluq-Nya.
Secara bahasa, bentuk kata (wazan) Ar-Rahman adalah Fa’lan yang mengandung makna ‘luas dan penuh’, sebab itu makna Ar-Rahman adalah Allah SWT. yang memiliki kasih sayang-Nya yang luas dan penuh. Luas artinya meliputi seluruh makhluq, sementara penuh artinya tak terbatas.
Sementara bentuk kata (wazan) Ar-Rahiem adalah Fa’iel yang mengandung arti kata kerja dari Rahmat (yakni Yang Merahmati, Yang Mengasihi), atau ‘pelaksana’. Sebab itu makna Ar-Rahiem adalah Allah SWT. Pemberi kasih sayang.
Jika Ar-Rahman dan Ar-Rahiem dipadukan maka maknanya bahwa Allah SWT. Pemilik kasih sayang yang luas meliputi seluruh makhluq-Nya dan kasih sayang-Nya akan sampai kepada makhluq-Nya.
Para Mufassir menjelaskan bahwa Makna Ar-Rahman dan Ar-Rahiem memiliki arti yang khusus jika disatukan dalam satu kalimat, (seperti dalam QS. Al-Fatihah ayat 1 dan 3). Sebagian Ahli tafsir menjelaskan bahwa Ar-Rahman adalah sifat kasih sayang Allah SWT. yang meluas kepada seluruh makhluq, sementara Ar-Rahiem adalah sifat kasih sayang Allah SWT. yang khusus diberikan oleh Allah kepada kaum mukminin.
Penerapan Tauhid.
- Tidak ada yang dituju selain Allah SWT (Ridha Allah SWT.)
- Tidak ada pengabdian (Ibadah) selain kepada Allah SWT.
Asma Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahim telah mengantarkan kita pada keyakinan bahwa Allah SWT. adalah Dzat Yang Maha Kasih Sayang. Dialah Allah yang telah memberikan kasih sayangnya kepada manusia, Dia tetap memberi rizqi walaupun sebagian manusia itu membangkang kepada-Nya; Dia turunkan hujan dari langit agar tercipta kehidupan di bumi, walaupun penduduk bumi banyak yang menentang-Nya; Dia tetap menerbitkan matahari di setiap fajar agar penduduk bumi dapat menyelenggarakan kehidupannya, walaupun sebagian penduduk bumi tidak mensyukuri-Nya; Dialah Allah Yang Maha Pemurah (Rahman) kepada seluruh makhluq-Nya.
Tetapi Dia Allah SWT. juga Maha Rahiem, disediakanlah pahala bagi setiap orang yang mentaati-Nya dan siksa bagi siapapun yang menentang-Nya; Ditolong-Nya siapapun yang memperjuangkan agama-Nya; Diterima taubatnya siapapun yang mau kembali kepada-Nya; Dibimbingnya siapapun manusia yang mau bekerja keras mencari keridhaan-Nya; Di persiapkanlah surga bagi siapapun yang berhasil mengisi hidupnya di dunia dengan Iman dan Amal Shaleh juga dipersiapkan oleh-Nya neraka bagi siapapun yang gagal mengisi hidupnya di dunia dengan Iman dan Amal Shaleh .
1. Tidak ada yang dituju selain Allah SWT (Ridha Allah SWT).
Puncak dari karakter-Nya yang Rahman dan Rahiem adalah Ridha-Nya. Maka manusia yang meyakini hanya Allah SWT-lah yang memiliki karakter Ar-Rahman dan Ar-Rahiem akan meyakini bahwa tidak ada yang bisa memberi Kasih dan Sayang yang Maha Luas selain Allah SWT. Oleh karena itu, implementasi dari hidup dengan berdasar (berkeyakinan) pada Allah Ar-Rahman Ar-Rahim, hidupnya akan ditujukan untuk semata-mata meraih Ridha-Nya (mardhatillah).
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡرِى نَفۡسَهُ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ رَءُوفُۢ بِٱلۡعِبَادِ
“ Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”(QS. Al-Baqarah (2) 207)
2. Tidak ada pengabdian (Ibadah) selain kepada Allah SWT.
Setelah kita tahu bahwa titik tuju hidup yang benar adalah Allah SWT. dengan asma-Nya yang Ar-Rahman Ar-Rahiem (Ridha Allah SWT), maka segala aktifitas seorang hamba Allah akan ditujukan kepada keridhaan-Nya. Dan segala aktifitas dengan titik tuju Ridha Allah adalah Ibadah, maka meyakini Allah dengan Asma-Nya Ar-Rahman Ar-Rahim berarti menjadikan Allah SWT. sebagai titik tuju pengabdiannya (Ibadah).
Asma Allah Ar-Rahman Ar-Rahiem juga telah memberi kita keyakinan bahwa Dialah Allah SWT sebagai satu-satunya Dzat yang wajib diibadahi (ma’bud).
Firman Allah:
وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS. Al-Hijr (15) ayat 99)
[2]
KEDUA. Asma Allah Rabbul ‘Aalamin (QS. Alfatihah (1) ayat 2)
Pengertian Rabbul ‘Aalamien.
Abul A’la Al-Maududi menulis: “Ar-Rabb artinya yang pokok (asal) adalah “mendidik”, kemudian mengalami perkembangan makna kepada membimbing, mengawasi, memperbaiki, mematangkan dan menyempurnakan, kemudian berkembang pula kepada mengatasi, memimpin dan menguasai”.
Al-Ishfahany mengatakan: “Ar-Rabb makna aslinya adalah tarbiyyah (pendidikan), yaitu membentuk sesuatu secara sistematis sampai pada tingkat yang sempurna”.
Dalam Al-Qur’an makna Allah Ar-Rabb dapat dibagi dua pengertian; pengertian asal dan pengertian konsekuensi. Pengertian asal adalah pengertian Allah SWT. sebagai Rabb yang dihubungkan dengan Dzat Allah SWT., sementara pengertian konsekuensi adalah pengertian Allah SWT. sebagai Rabb yang dihubungkan dengan kewajiban makhluq terhadap keberadaan-Nya sebagai Rabb.
- Pengertian Asal; Allah SWT. sebagai Rabb adalah Pencipta (QS. 2:21), Pemberi rizqi, Pemelihara (QS. 10:30-31), Pengajar (QS. 96:1-5), Pemilik, Penjamin keamanan dan logistik (QS. 106:3-4).
- Pengertian konsekuensi; Allah SWT. sebagai Rabb adalah Pengatur atau Pembuat hukum (QS. 42:10)
Allah SWT. sebagai Rabb (Rabbul ‘Aalamin) artinya Dialah Yang Mencipta, Mengajar, Memelihara, Menjamin rezeki dan logistik makhluk-Nya, maka konsekuensinya adalah hanya ditangan-Nya lah kewenangan (otoritas) mengatur atau membuat hukum bagi makhluq-Nya, termasuk manusia.
Kedua pengertian Ar-Rabb tersebut, menjadi keyakinan yang terpatri kuat-kuat dalam sanubari seorang mukmin.
Penerapan Tauhid:
Tidak ada yang berhak dipatuhi aturannya selain Aturan Allah SWT.
Tidak seperti orang Jahiliyyah pada masa Rasulullah SAW. dahulu, yang meyakini Allah SWT. sebagai Rabb hanya sebagai Pencipta, Pemberi rizqi, Pemelihara dan lain-lain, tetapi tidak meyakini pengertian Allah SWT. sebagai Rabb satu-satunya Dzat yang berhak Mengatur atau Pembuat hukum.
Makanya, mereka berani membuat atau menerima aturan hidup produk manusia yang berdasarkan ra’yu (pikiran) manusia, walaupun mereka tetap meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa. Allah SWT. tetap memberi label musyrikin kepada mereka yang mengaku meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi menolak diatur oleh aturan Allah SWT. yang bersumber dari wahyu. Mengenai mereka itu Allah SWT. berfirman: “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” (QS. 29:61).
Adapun yang benar, yakni yang hidupnya didasarkan kepada Asma Allah Rabbul ‘Aalamin. Mereka adalah mukmin yang meyakini Allah SWT-lah Pencipta dan Pemberi rizqi dan meyakini bahwa hanya ditangan Allah SWT-lah hak membuat aturan. Sehingga ia akan menerima seratus persen sepenuh jiwa aturan Allah SWT., yang bersumber dari wahyu Allah, yaitu Al-Qur’anul Adzhiem sebagi sumber hukum tertinggi. Firman Allah: ”Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih maka hukumnya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabb-ku. Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya lah aku kembali.” (QS. 42:10).
[3]
KETIGA. Asma Allah Maaliki Yaumid Din (QS. Alfatihah (1) ayat 4).
Pengertian Maaliki Yaumiddin
Al-Malik jika dibaca “mim”-nya panjang (Maalik) maknanya adalah “Dzul Mulki” yaitu Raja; Yang Menguasai: Yang Memerintah. Dan jika dibaca “mim”-nya pendek maknanya adalah “Dzul Milki” yaitu Pemilik.
Kedua pengertian Al-Malik yang menjadi kata kunci mengenal asma ‘maaliki yaumiddin’ adalah makna yang saling melengkapi, di mana yang satu adalah pengertian asal dan yang kedua adalah pengertaian konsekuensi.
Pengertian asal; Allah Al-Maalik adalah Pemilik seluruh makhluq sebagaimana firman-Nya: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 284).
Pengertian konsekuensi; Allah Al Malik adalah Penguasa / Raja / Yang Maha Memerintah sebagaimana firman-Nya: “Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong”. ( Al-Baqarah [2] ayat 107).
Allah SWT. sebagai Al-Malik artinya adalah Dialah Allah Pemilik segala makhluq (apa yang ada di bumi dan di langit). Sebagai Pemilik maka konsekuensinya adalah Penguasa atas segala apa yang dimilikinya. Misalnya seseorang pemilik sebuah buku, maka penguasa atas buku itu adalah pemiliknya, mau diapakan buku itu adalah tergantung si pemilik.
Nah, makhluq yang ada di bumi maupun di langit pemiliknya adalah Allah SWT, maka konsekuensinya Allah SWT. pula yang Menguasai (Merajai/Memerintah) seluruh makhluq-Nya. Itulah makna Allah Al-Maalik.
Kedua pengertian Allah Al-Maalik tersebut dapatlah kita pahami melalui QS. Ali Imran (3) ayat 26: “ Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Penerapan Tauhid:
Tidak ada Kekuasaan selain Kekuasaan Allah SWT.
Sebagaimana malaikat di langit adalah makhluq Allah SWT yang mengabdi kepada Allah SWT dalam kekauasaan-Nya, maka manusia yang meyakini keberadaan-Nya sebagai Al-Malik juga wajib mengabdi kepada Allah SWT dalam lingkar kekuasaan Allah SWT.
Lihat QS. An-Nisa (4) ayat 97 !. Dalam ayat tersebut dikisahkan adanya umat Islam yang tidak Hijrah ke Madinah, padahal sudah diwajibkan kepada mereka untuk Hijrah. Dan pada tahun kedua Hijriyah terjadi perang Badar. Saat pertempuran terjadi ada beberapa umat Islam (yang tidak Hijrah) tersebut, berada di front Abu Lahab sebagai tentara Negara Hijaz dan mengabdi kepada Negara Hijaz. Mereka harus berhadapan dengan Umat Islam yang dipimpin Rasulullah di bawah panji Negara Madinah.
Jadi ada Ummat Islam yang berada (mengabdi) pada Kekuasaan selain Allah SWT yang direpresentasikan dengan Negara Hijaz; dan ada Ummat Islam yang berada (mengabdi) dalam kekuasaan Allah SWT yang direpresentasikan dengan Negara Madinah.
Nah, QS. An-Nisa (4) ayat 97 adalah jawaban paten dari Allah SWT bahwa siapapun yang mengabdi di dalam kekuasaan selain Allah SWT maka matinya adalah mati dalam keadaan menzhalimi dirinya sendiri dan tempatnya adalah di neraka.
Kesimpulan
Dengan Basmallah berarti ia telah berbuat dan bertindak dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah SWT. bukan hamba diri atau hamba sesembahan selain Allah SWT.
Dengan Basmallah berarti ia telah mengokohkan dirinya untuk: ILALLAH(menjadikan Allah SWT. tujuan hidupnya dengan beribadah hanya kepada-Nya);BILLAH (menjadikan aturan hukum Allah SWT sebagai satu-satunya aturan hidup); dan FILLAH (menjadikan lingkar kekuasaan Allah SWT sebagai tempatnya mengabdi)**** (waiman at almukaromah, 9 April 2017)
pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU
Daftar Pustaka:
- Abul A’la Al-maududi, “Pengertian Agama, Ibadah, dan Ketuhanan dalam Al-Qur’an” (terjemahan), Penerbit Sinar Baru Bandung.
- Raghib Al-Isfahani, “Mufrodat Alfadz Al-Qur’an”, Penerbit Darul Qalam – Damaskus th 1989.
- Syahid Ibnu Audah, “Aqidah Islamiyyah”, Penerbit Bismirabbik Press – Bandung, Th 2000.
0 komentar:
Posting Komentar