Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Salam, beliau bersabda:
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا
يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ،
لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ
، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ
يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

Secara bahasa Ar-Royyan artinya tidak
haus, segar dan puas. Berdasar hadits Nabi SAW., Ar-Royyan adalah salah satu
pintu surga, sekaligus pintu surga yang khusus di bukakan bagi orang yang
shaum. Rasulullah SAW. bersabda: Hadits yang dimaksud adalah,
فِى الْجَنَّةِ ثَمَانِيَةُ
أَبْوَابٍ ، فِيهَا بَابٌ يُسَمَّى الرَّيَّانَ لاَ يَدْخُلُهُ إِلاَّ
الصَّائِمُونَ
Artinya: “Surga
memiliki delapan buah pintu. Di antara pintu tersebut ada yang dinamakan pintu
Ar-Royyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari No.
3257).
Siapa yang
dipanggil-panggil pintu (surga) Ar-Royyan?, merekalah yang masuk Madrasah
Ramadhan dengan materi pelajaran Shaum hingga lulus mendapat Ijazah “Taqwa”.
Firman Allah Ta’ala:
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام
كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah ayat
183).
Mentadzabburi
QS. Al-Baqarah ayat 183, maka Insya Allah akan kita temukan
pengertian Taqwa dan dengan ketaqwaan-lah kita akan terpanggil memasuki surga
dan meraih ridha-Nya.
Ada tiga kata kunci yang akan membantu memahami makna taqwa:
1. Harfu Nida (panggilan) dengan redaksi “Yaa Ayyuha”,2. Orang Beriman dengan redaksi “Alladzina Amanu”, dan3. Kewajiban dengan redaksi “Kutiba”.
Oo-
Meluruskan
Arah Kiblat.
Ayat ini
diawali dengan lafadz panggilan kepada orang yang beriman. Orang beriman diseru
oleh Allah SWT. untuk kemudian nanti diberi intruksi yang sangat penting yaitu
shaum. Kenapa harus dipanggil dulu sebelum diberi intruksi?.
Setiap
panggilan (Adat Nida’), memiliki makna “Thalabul Iqbal ‘anil Munada” (menuntut
kepada yang dipanggil agar menghadapkan wajahnya kepada yang memanggil).
Redaksi ayat
ini mengandung makna yang sangat dalam, karena “Panggilan” atau eruan Allah
bagi mukminin benar- benar menuntut si Mukmin agar menghadapkan wajahnya kepada
Allah sebelum diberi “perintah” shaum.
Menghadapkan
wajah terpusat kesatu arah berarti lurus, dan arah yang ditujunya adalah
Kiblat. Ini mengandung makna bahwa intruksi, perintah atau kewajiban dari Allah
SWT. hanya akan diberikan kepada orang yang beriman yang telah lurus arah
kiblatnya.
Allah Ta’ala
menyatakan bukanlah Al-Birru (pokok kebajikan) orang yang kiblatnya
kebarat dan ketimur (QS. Al-Baqarah ayat 177), tetapi jadilah seperti para Nabi
yang berkata : “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan “ (QS. Al-An’am
ayat 79). Ar-Rabb (Allah) adalah satu-satunya arah kiblat hidup. Allah
yang jadi kiblat mukmin satu-satunya.
Menghadapkan
wajahnya kepada Allah tersebut, tentu direalisasikan dengan menghadapkan wajah kepada
Rasul-Nya. Karena barangsiapa yang mentaati Rasul berarti ia telah mentaati
Allah (QS. An-Nisa ayat 80), dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah atas ijin
Allah SWT. (QS An-Nisa ayat 64). Oleh karena itu di alam syahadah
ini, maka hadapkanlah wajahmu kepada Rasul!, atau berkiblat kepada Rasul,
sebagai Pimpinan Umat Islam.
Kiblat
berfungsi sebagai Titik Tuju dan sekaligus sebagai Pusat Komando,
sehingga dengan lurusnya mukmin berkiblat kepada Rasul (pimpinan Umat islam),
maka semua mukmin akan seragam (Berbaris) dalam satu komando risalah.
Sehingga Rasul dijadikan Kiblat dalam menentukan “benar atau salah”, Rasul
menjadi barometer bergerak, Rasul menjadi standar untuk menilai “Baik atau
Buruk”.
Al-Qur’an
juga mengingatkan kita bahwa meluruskan arah Kiblat hidup kepada
Rasul sangatlah berat. Kerap kali, komando Rasulullah itu bertentangan dengan “mainstream” pemahaman
mayoritas masyarakat. Suatu contoh, misalnya ketika diperintah untuk
memindahkan kiblat shalat, maka manusia saat itu sangat berat
melakukannya (lihat QS Al-Baqarah ayat 143).
Beratnya
manusia dulu, bukanlah dari membalikan badan yang asalnya ke arah Al-Aqsha kini
ke Ka’bah. Akan tetapi mengarah ke Ka’bah itu , saat itu, tidak sesuai dengan
tradisi dan juga dengan pandangan para Ulama Ahli Kitab yang menyatakan
bahwa kiblatnya agama samawi adalah ke Al-Aqsha. Padahal bagi mereka
yang mendapat cucuran petunjuk dari Allah tidaklah sulit untuk merubah tradisi
yang sudah lama diyakininya jika Rasul menuntut perubahan. Sebab kiblat
hidupnya Rasulullah bukanlah ulama ahli kitab.
Tentu saja
sepeninggal Nabi Muhammad sudah tertutup turunya wahyu sehingga tugas
kerisalahan diemban oleh khilafah atau Ulil Amri sebagai Pemimpin
Umat Islam (QS. An-Nisa ayat 59). Oleh karena itu semenjak meninggalnya Rasul
Muhammad SAW,maka kiblat ummat harus kepada pemimpin atau Khalifah setelahnya.
Oo-
Keimanan yang
Haqiqi.
Kata kunci
yang kedua untuk memahami Taqwa adalah Iman, tidak mungkin ada ketaqwaan tanpa
adanya keimanan. Dan baru disebut beriman jika telah memenuhi dua hal secara
bersamaan yaitu Iman kepada Allah dan kufur kepada Thaguth sebagaimana
difirmankan Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 256: “… Karena itu barang
siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”.
Oo-
Ketundukan
kepada Syari’at Islam.
Puncak
keimanan kepada Allah, adalah Islam, yaitu ketundukannya kepada syari’at Islam.
Al-Qur’an banyak memuat ayat yang setelah orang beriman diseru (yaa
Ayyuhalladzina Amanu) dilanjutkan dengan “Kutiba” (diwajibkan).
Dalam QS.
Al-Baqarah ayat 183, setelah orang beriman diseru oleh Allah kemudian diikuti dengan “Kutiba
‘Alaikum Shiyam” (diwajibkan shaum). Hal ini berarti, orang beriman wajib
tunduk kepada syari’at (hukum) Islam dalam bidang ubudiyyah (ritual).
Dalam QS.
Al-Baqarah ayat 178, setelah orang beriman diseru oleh Allah kemudian diikuti
dengan “Kutiba ‘Alaikum Qishash” (diwajibkan qisos). Hal ini berarti,
orang beriman wajib tunduk kepada syari’at (hukum) Islam dalam bidang jinayah (pidana).
Terkait
dengan seruan dalam QS. Al-Baqarah ayat 178, maka dalam QS. Al-Baqarah ayat 180
setelah orang beriman diseru oleh Allah kemudian diikuti dengan “Kutiba …
Antarokanil washiyah” (diwajibkan membuat wasiat harta). Hal ini berarti,
orang beriman wajib tunduk kepada syari’at (hukum) Islam dalam bidang mu’amalah (sosial-ekonomi).
Dalam QS.
Al-Baqarah ayat 213, walaupun tidak tertulis redaksi seruannya tapi dapat
dipahami sebelumnya mengandung seruan kepada orang beriman. Kemudian QS.
Al-Baqarah ayat 213 ini mewajibkan kepada orang beriman untuk berperang (Kutiba
‘Alaikumul Qital). Hal ini berarti orang beriman wajib tunduk kepada syari’at
(hukum) jihad (sosial politik).
Artinya
kewajiban menjalankan syari’at (hukum) Islam hanya berlaku bagi orang yang
beriman dan hanya orang yang beriman yang akan sanggup menjalankan syari’at
hukum Islam secara murni dan konsekwen, tidak akan setengah-setengah atau
sebagian-sebagian. Firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS.
Al-Baqarah ayat 208).
KESIMPULAN
Ar-Royyan
atau surga memanggil orang-orang yang sukses dengan shaumnya mencapai derajat
Taqwa. Dan Taqwa memiliki pengertian: “Taat, tunduk, patuh kepada syari’at
(hukum) Islam, dengan dasar Iman, serta lurusnya arah kiblat hidupnya”.**** (waiman)
pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU
almukaromah, 4 Maret 2017
0 komentar:
Posting Komentar