Selasa, 04 April 2017

Ar-Royyan memanggil MUTTAQIN

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam, beliau bersabda:

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di surga ada suatu pintu yang disebut “Ar-Royyan“. Orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak akan memasukinya. Nanti orang yang berpuasa akan diseru, “Mana orang yang berpuasa.” Lantas mereka pun berdiri, selain mereka tidak akan memasukinya. Jika orang yang berpuasa tersebut telah memasukinya, maka akan tertutup dan setelah itu tidak ada lagi yang memasukinya” (HR. Bukhari No. 1896 dan Muslim No. 1152).

Secara bahasa Ar-Royyan artinya tidak haus, segar dan puas. Berdasar hadits Nabi SAW., Ar-Royyan adalah salah satu pintu surga, sekaligus pintu surga yang khusus di bukakan bagi orang yang shaum. Rasulullah SAW. bersabda: Hadits yang dimaksud adalah,

فِى الْجَنَّةِ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابٍ ، فِيهَا بَابٌ يُسَمَّى الرَّيَّانَ لاَ يَدْخُلُهُ إِلاَّ الصَّائِمُونَ

Artinya: “Surga memiliki delapan buah pintu. Di antara pintu tersebut ada yang dinamakan pintu Ar-Royyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari No. 3257).

Siapa yang dipanggil-panggil pintu (surga) Ar-Royyan?, merekalah yang masuk Madrasah Ramadhan dengan materi pelajaran Shaum hingga lulus mendapat Ijazah “Taqwa”. Firman Allah Ta’ala:

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah ayat 183).

Mentadzabburi QS. Al-Baqarah ayat 183, maka Insya Allah akan kita temukan pengertian Taqwa dan dengan ketaqwaan-lah kita akan terpanggil memasuki surga dan meraih ridha-Nya.

Ada tiga kata kunci yang akan membantu memahami makna taqwa:
1. Harfu Nida (panggilan) dengan redaksi “Yaa Ayyuha”,2. Orang Beriman dengan redaksi “Alladzina Amanu”, dan3. Kewajiban dengan redaksi “Kutiba”.

Oo-

Meluruskan Arah Kiblat.

Ayat ini diawali dengan lafadz panggilan kepada orang yang beriman. Orang beriman diseru oleh Allah SWT. untuk kemudian nanti diberi intruksi yang sangat penting yaitu shaum. Kenapa harus dipanggil dulu sebelum diberi intruksi?.

Setiap panggilan (Adat Nida’), memiliki makna “Thalabul Iqbal ‘anil Munada”  (menuntut kepada yang dipanggil agar menghadapkan wajahnya kepada yang memanggil).

Redaksi ayat ini mengandung makna yang sangat dalam, karena “Panggilan” atau eruan Allah bagi mukminin benar- benar menuntut si Mukmin agar menghadapkan wajahnya kepada Allah sebelum diberi “perintah” shaum.

Menghadapkan wajah terpusat kesatu arah berarti lurus, dan arah yang ditujunya adalah Kiblat. Ini mengandung makna bahwa intruksi, perintah atau kewajiban dari Allah SWT. hanya akan diberikan kepada orang yang beriman yang telah lurus arah kiblatnya.

Allah Ta’ala menyatakan bukanlah Al-Birru (pokok kebajikan) orang yang kiblatnya kebarat dan ketimur (QS. Al-Baqarah ayat 177), tetapi jadilah seperti para Nabi yang berkata : “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan “ (QS. Al-An’am ayat 79).  Ar-Rabb (Allah) adalah satu-satunya arah kiblat hidup. Allah yang jadi kiblat mukmin satu-satunya.

Menghadapkan wajahnya kepada Allah tersebut, tentu direalisasikan dengan menghadapkan wajah kepada Rasul-Nya. Karena barangsiapa yang mentaati Rasul berarti ia telah mentaati Allah (QS. An-Nisa ayat 80), dan ketaatan kepada Rasul-Nya adalah atas ijin Allah SWT. (QS An-Nisa ayat 64).  Oleh karena itu di alam syahadah ini,  maka hadapkanlah wajahmu kepada Rasul!, atau berkiblat kepada Rasul, sebagai Pimpinan Umat Islam.

Kiblat berfungsi sebagai Titik Tuju dan sekaligus sebagai Pusat Komando, sehingga dengan lurusnya mukmin berkiblat kepada Rasul (pimpinan Umat islam), maka semua mukmin akan seragam (Berbaris) dalam satu komando risalah. Sehingga Rasul dijadikan Kiblat dalam menentukan “benar atau salah”, Rasul menjadi barometer bergerak, Rasul menjadi standar untuk menilai “Baik atau Buruk”.

Al-Qur’an juga mengingatkan kita bahwa meluruskan arah Kiblat hidup kepada Rasul sangatlah berat. Kerap kali, komando Rasulullah itu bertentangan dengan “mainstream” pemahaman mayoritas masyarakat. Suatu contoh, misalnya ketika diperintah untuk memindahkan kiblat shalat, maka manusia  saat itu sangat berat melakukannya (lihat QS Al-Baqarah ayat 143).

Beratnya manusia dulu, bukanlah dari membalikan badan yang asalnya ke arah Al-Aqsha kini ke Ka’bah. Akan tetapi mengarah ke Ka’bah itu , saat itu, tidak sesuai dengan tradisi dan juga dengan pandangan para Ulama  Ahli Kitab yang menyatakan bahwa kiblatnya agama samawi adalah ke Al-Aqsha. Padahal bagi mereka yang mendapat cucuran petunjuk dari Allah tidaklah sulit untuk merubah tradisi yang sudah lama diyakininya jika Rasul menuntut perubahan. Sebab kiblat hidupnya Rasulullah bukanlah ulama ahli kitab.

Tentu saja sepeninggal Nabi Muhammad sudah tertutup turunya wahyu sehingga tugas kerisalahan diemban oleh khilafah atau Ulil Amri sebagai Pemimpin Umat Islam (QS. An-Nisa ayat 59). Oleh karena itu semenjak meninggalnya Rasul Muhammad SAW,maka kiblat ummat harus kepada pemimpin atau Khalifah setelahnya.

Oo-

Keimanan yang Haqiqi.

Kata kunci yang kedua untuk memahami Taqwa adalah Iman, tidak mungkin ada ketaqwaan tanpa adanya keimanan. Dan baru disebut beriman jika telah memenuhi dua hal secara bersamaan yaitu Iman kepada Allah dan kufur kepada Thaguth sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 256: “… Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”.

Oo-

Ketundukan kepada Syari’at Islam.

Puncak keimanan kepada Allah, adalah Islam, yaitu ketundukannya kepada syari’at Islam. Al-Qur’an banyak memuat ayat yang setelah orang beriman diseru (yaa Ayyuhalladzina Amanu) dilanjutkan dengan “Kutiba” (diwajibkan).

Dalam QS. Al-Baqarah ayat 183, setelah orang beriman diseru oleh Allah kemudian diikuti dengan “Kutiba ‘Alaikum Shiyam” (diwajibkan shaum). Hal ini berarti, orang beriman wajib tunduk kepada syari’at (hukum) Islam dalam bidang ubudiyyah (ritual).

Dalam QS. Al-Baqarah ayat 178, setelah orang beriman diseru oleh Allah kemudian diikuti dengan “Kutiba ‘Alaikum Qishash” (diwajibkan qisos). Hal ini berarti, orang beriman wajib tunduk kepada syari’at (hukum) Islam dalam bidang jinayah (pidana).

Terkait dengan seruan dalam QS. Al-Baqarah ayat 178, maka dalam QS. Al-Baqarah ayat 180 setelah orang beriman diseru oleh Allah kemudian diikuti dengan “Kutiba … Antarokanil washiyah” (diwajibkan membuat wasiat harta). Hal ini berarti, orang beriman wajib tunduk kepada syari’at (hukum) Islam dalam bidang mu’amalah (sosial-ekonomi).

Dalam QS. Al-Baqarah ayat 213, walaupun tidak tertulis redaksi seruannya tapi dapat dipahami sebelumnya mengandung seruan kepada orang beriman. Kemudian QS. Al-Baqarah ayat 213 ini mewajibkan kepada orang beriman untuk berperang (Kutiba ‘Alaikumul Qital). Hal ini berarti orang beriman wajib tunduk kepada syari’at (hukum) jihad (sosial politik).

Artinya kewajiban menjalankan syari’at (hukum) Islam hanya berlaku bagi orang yang beriman dan hanya orang yang beriman yang akan sanggup menjalankan syari’at hukum Islam secara murni dan konsekwen, tidak akan setengah-setengah atau sebagian-sebagian. Firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah ayat 208).

KESIMPULAN

Ar-Royyan atau surga memanggil orang-orang yang sukses dengan shaumnya mencapai derajat Taqwa. Dan Taqwa memiliki pengertian: “Taat, tunduk, patuh kepada syari’at (hukum) Islam, dengan dasar Iman, serta lurusnya arah kiblat hidupnya”.**** (waiman)

pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU

almukaromah, 4 Maret 2017




Share:

0 komentar:

Posting Komentar