Prahara Tahun 65
Partai Komunis
Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di
luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah
sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota.
Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis, artis dan pergerakan
sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Awal tahun 1965, atas
usulan PKI, Soekarno menyetujui Angkatan kelima, dimana Buruh dan Tani
dipersenjatai. Dalam prespektif Soekarno ini adalah kekuatan penyeimbang
TNI. Tentu saja perwira-perwira AD tidak setuju ide ini.
Diisukan adanya Dewan
Jendral, dimana perwira-perwira AD diisukan akan mengambil alih kekuasaan
Negara pada tanggal 5 Oktober 1965 (hari ABRI). Isu Dewan Jendral juga
menyertakan susunan kabinet versi Dewan Jendral.
Isu Dewan Jendral
tersebut di manfaatkan (diciptakan) oleh PKI untuk membentuk Dewan Revolusi
Indonesia sebagi tandingan Dewan Jendral. Untuk menghindari resiko kegagalan,
tokoh-tokoh PKI tidak memegang pimpinan. Sebaliknya, perwira ABRI yang memegang
pimpinan, bertindak sebagai Ketua Dewan Revolusi, yaitu Letkol Untung Syamsuri,
perwira KODAM Diponegoro yang berprestasi . Dengan demikian kalau Dewan
Revolusi mengalami kegagalan, PKI tidak akan dilibatkan. Selanjutnya ditegaskan
bahwa kegiatan Dewan Revolusi adalah intern Angkatan Darat/ABRI.
RRI jam 07.00
menyiarkan informasi telah terjadi gerakan militer di lingkungan Angkatan Darat
yang dinamakan “Gerakan 30 September” (G30S). Siaran kedua sekitar pukul
13.00 WIB. Siang itu kelompok G30S memberitakan “Dekrit No. 1” tentang
“Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia” dan “Keputusan No.1” tentang “Susunan
Dewan Revolusi Indonesia”. Dalam siaran ini diumumkan komposisi personil G30S
yang terdiri dari Letnan Kolonel Untung sebagai komandan dan tiga wakil
komandan yakni Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut
Sunardi, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas. Siaran menyatakan bahwa
kekuasaan negara telah jatuh ke tangan Dewan Revolusi Indonesia dan status
kabinet Dwikora bentukan Sukarno dinyatakan demisioner.
Pasukan G30S dibagi
dalam 3 kelompok; Pasopati, Bimasakti dan Pringgodani. Pasukan-pasukan itu,
dipimpin oleh perwira dari Cakrabirawa bawahan Untung.
Pasopati dalam
penculikan juga membunuh secara langsung, terhadap tujuh Jenderal AD yang akan
diculik.
Pasukan Bimasakti
kebagian jatah untuk beraksi di Jakarta Pusat. Mereka ditempatkan di Medan
Merdeka, dekat Monumen Nasional (Monas).
Pasukan terbesar G30S,
adalah Pringgodani. Tugas pasukan ini adalah mempertahankan pangkalan Halim
Perdanakusuma. Tugas lainnya untuk mengamankan Presiden Soekarno bila berada di
instalasi militer itu. Pangkalan udara Halim Perdanakusumah adalah basis utama
G30S.
Selepas tengah malam
30 September, tepatnya 1 Oktober 1965 dini hari, jadilah peristiwa berdarah
penculikan dan pembunuhan 6 jendral AD yaitu: Panglima Angkatan Darat
Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto , Mayjen
TNI M.T. Haryono , Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan,
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo. Sementara itu AH Nasution berhasil lolos dari
penculikan.
Penumpasan G 30 S PKI
1 Oktober 1965, RPKAD
dibawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi, merebut kembali Gedung RRI pusat dan
Kantor Pusat Telekomunikasi tanpa pertumpahan darah. Kemudian RPKAD
merangsek ke arah Halim Perdana Kusumah yang diyakini sebagai basis G 30 S PKI.
Halim Perdana Kusuma
diserang (2 Oktober 1965), oleh satuan RPKAD Pada pukul 12.00 siang, seluruh
tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso (3 Oktober 1965) dan
ditemukan sumur tua tempat para jendral AD dibenamkan di dalamnya. Sumur
tersebut dikenal dengan Sumuir Lubang Buaya. Adapun penggalian sumur tersebut
dilakukan tanggal 4 Oktober dan 13 Oktober 1965, disaksikan oleh Mayjend TNI
Soeharto, sekaligus diangkatnya mayat jendral-jendral AD yang menjadi korban G
30 S. Fisik mayat-mayat tersebut terlihat rusak akibat penyiksaan kejam
sebelumnya.
Soekarno (6 Oktober 1965) mengeluarkan imbauan
untuk menciptakan “persatuan nasional“, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para
korbannya, dan penghentian kekerasan. Sementara itu, Biro Politik CC PKI
segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk
mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak
ulang di koran CPA bernama “Tribune”. Menyusul tanggal 12 Oktober para pemimpin
Komunis Uni Sovyet; Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus
untuk Soekarno: “Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa
kesehatan anda telah membaik…Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato
anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan
menghindari kekacauan…Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam.”
Bulan Maret 1966 tanggal 11 terbitlah
Surat Perintah Sebelas Maret yang terkenal dengan istilah SUPERSEMAR, termasuk
terkenal kontroversinya. Supersemar dari Presiden Soekarno kepada
Soeharto untuk “Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya
keamanan“. Sekaligus
mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintahan dengan panglima-panglima
Angkatan.
Supersemar seakan-akan
menjadi kekuatan tak terbatas bagi Soeharto. Langkah pertama Soeharto adalah
melarang PKI. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI
pada tanggal 24 November 1966. Nyoto mengambil alih kepemimpinan PKI.
Tanggal 16 Maret 1966,
Pangkopkamtib atas nama Presiden menangkap 15 Menteri yang diduga PKI. Menyusul
perombakan Kabinet Dwikora (27 Maret 1966).
Selepas itu anggota
PKI dan simpatisannya diburu, ditahan dan terjadilah pembunuhan yang juga
melampaui batas kemanusiaan. Korban anggota PKI dan simpatisannya memang tidak
diketahui secara persis ada yang mengatakan 500.000 bahkan ada yang mengatakan
sampai dua juta korban.
PKI (Komunisme) dilarang dan
Presiden Soekarno Diberhentikan
Jenderal TNI AH
Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut
berlangsung dari tanggal 21 Juni 1966 sampai dengan 6 Juli 1966.
Dalam sidang MPRS tanggal 5 juli 1966 keluar
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap
Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme-Leninisme
Pidato Nawaksara
dibacakan Presiden Soekarno di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan pimpinan MPRS
tanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato
tersebut. Sidang MPRS ditutup tanggal 6 Juli 1966, dengan salah satu
keputusannya adalah menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan
Supersemar.
17 Agustus 1966,
Presiden Soekarno menyampaikan yang dikenal dengan Pidato Jas Merah
(Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan
sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang
ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan
diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
Massa KAMI, KAPPI, dan
KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka (1-3 Oktober 1966). Mereka
menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa
G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan
pasukan Garnizun, sehingga memakan korban. Gelombang demontrasi kembali terjadi
tanggal 30 Nopember 1966 dengan tuntutan yang sama. Bahkan pada tanggal 9-12
Desember 1966 Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno
diadili. Demontrasi Mahasiswa, pelajar dan pemuda baik KAMI, KAPPI, KAWI, KASI,
KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH)
menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno
dalam G-30-S/PKI (20 Desember 1966).
ABRI juga menerbitkan pernyataan keprihatinan
pada tanggal 21 Desember 1966, mereka menyatakan agar siapapun akan diambil
tindakan bagi yang tidak mau melaksanakan
Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS.”
6 Januari 1967, Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor
A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban
Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu
juga memuat Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan / menjernihkan terhadap peranan
Presiden (Soekarno) dalam hubungannya dengan peristiwa kontra
revolusi G-30-S/PKI.
Soekarno sendiri pada tanggal 10 januari 1967
dalam pidato pelengkap NAWAKSARA menyatakan mengutuk GESTOK (istilah
Soekarno untuk G 30 S) sekaligus menyatakan bahwa G 30 S adalah: satu “complete overrompeling” bagi nya. Sementara itu Pimpinan MPRS
menilai bahwa Presiden (Soekarno) masih meragukan keharusannya untuk memberikan
pertanggungan-jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS
No.5/MPRS/1966.
Empat panglima
angkatan di tubuh ABRI (11 Februari 1967) ,bertemu Presiden Soekarno di Bogor,
menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan
MPRS pada Sidang Umum ke-IV.
Puncaknya terjadi
tanggal 16 Februari 1967, dimana Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No.
13/B/1967 yang menolak pelengkapan pidato nawaksara yang disampaikan
dengan surat presiden. Keputusan MPRS tersebut ditanggapi Soekarno dengan
penyerahan kekuasaan kepada Pengemban ketetapan MPRS, yakni Jendral Soeharto.
Akhirnya Sidang
Istimewa MPRS pada tanggal 7 Maret 1967, memutuskan mencabut Kekuasaan
Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat
Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.
Berakhirlah karir
Soekarno, setelah 23 tahun sejak tahun 1945 hingga tahun 1967 memegang tampuk
kepemimpinan nasional.
Berbagai Versi
Belakangan, pada masa
reformasi, berkembang versi-versi seputar dalang G 30 S. Sementara pada masa
orde baru, dalang G 30 S adalah tunggal yaitu PKI sehingga dibelakang G
30 S diberi imbuhan PKI.
Setidaknya ada 6 versi
yang berkembang tentang dalang G 30 S:
1.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
2.
Sebagian Perwira Angkatan Darat dengan PKI sebagai Pemain Kedua
3.
Soekarno
4.
Soeharto
5.
Amerika Melalui Central Intelegence Agency (CIA)
6.
Sjam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus Central PKI
Keenam versi mengenai
siapa dalang dibalik peristiwa G 30 S tersebut tidak akan memupus peran PKI
(Komunis) dalam peristiwa G 30 S. Bahkan bias jadi G 30 S memang tidak memiliki
pelaku (aktor) yang tunggal, tetapi keenam aktor tersebut satu sama lain saling
memanfaatkan situasi.**** (waiman)
Pernah dimuat dalam
MAJALAH AMANU
Almukaromah, 28
Maret 2017
SUMBER:
1.
Asvi Warman Adam, “Membongkar Manipulasi Sejarah”, Penerbit buku KOMPAS –jakarta, cetakan ketiga tahun 2009.
2.
ekretariat negara RI, “Gerakan 30 September
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, penerbit Sekretariat Negara Republim Indonesia, Jakarta 1994.
3.
Anton Tabah, “Jenderal Besar Nasution Bicara
Tentang G-30-S / PKI”,
penerbit CV Sahabat Klaten – Klaten, cetakan ke V tahun 2014.
4.
Surya Lesmana (koordinator), “Saksi dan Pelaku Gestapu”, Penerbit Media Pressindo – Yogyakarta, Cetakan keempat Agustus
2006.
0 komentar:
Posting Komentar