Selasa, 28 Maret 2017

Komunisme: Tragedi (65) Enam Lima

Prahara Tahun 65
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis, artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Awal tahun 1965, atas usulan PKI, Soekarno menyetujui Angkatan kelima, dimana Buruh dan Tani dipersenjatai. Dalam prespektif Soekarno ini adalah kekuatan penyeimbang TNI.  Tentu saja perwira-perwira AD tidak setuju ide ini.

Diisukan adanya Dewan Jendral, dimana perwira-perwira AD diisukan akan mengambil alih kekuasaan Negara pada tanggal 5 Oktober 1965 (hari ABRI). Isu Dewan Jendral juga menyertakan susunan kabinet versi Dewan Jendral.
Isu Dewan Jendral tersebut di manfaatkan (diciptakan) oleh PKI untuk membentuk Dewan Revolusi Indonesia sebagi tandingan Dewan Jendral. Untuk menghindari resiko kegagalan, tokoh-tokoh PKI tidak memegang pimpinan. Sebaliknya, perwira ABRI yang memegang pimpinan, bertindak sebagai Ketua Dewan Revolusi, yaitu Letkol Untung Syamsuri, perwira KODAM Diponegoro yang berprestasi . Dengan demikian kalau Dewan Revolusi mengalami kegagalan, PKI tidak akan dilibatkan. Selanjutnya ditegaskan bahwa kegiatan Dewan Revolusi adalah intern Angkatan Darat/ABRI.
RRI jam 07.00 menyiarkan informasi telah terjadi gerakan militer di lingkungan Angkatan Darat yang dinamakan “Gerakan 30 September” (G30S). Siaran kedua sekitar pukul 13.00 WIB. Siang itu kelompok G30S memberitakan “Dekrit No. 1” tentang “Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia” dan “Keputusan No.1” tentang “Susunan Dewan Revolusi Indonesia”. Dalam siaran ini diumumkan komposisi personil G30S yang terdiri dari Letnan Kolonel Untung sebagai komandan dan tiga wakil komandan yakni Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas. Siaran menyatakan bahwa kekuasaan negara telah jatuh ke tangan Dewan Revolusi Indonesia dan status kabinet Dwikora bentukan Sukarno dinyatakan demisioner.
Pasukan G30S dibagi dalam 3 kelompok; Pasopati, Bimasakti dan Pringgodani. Pasukan-pasukan itu, dipimpin oleh perwira dari Cakrabirawa bawahan Untung.
Pasopati dalam penculikan juga membunuh secara langsung, terhadap tujuh Jenderal AD yang akan diculik.
Pasukan Bimasakti kebagian jatah untuk beraksi di Jakarta Pusat. Mereka ditempatkan di Medan Merdeka, dekat Monumen Nasional (Monas).
Pasukan terbesar G30S, adalah Pringgodani. Tugas pasukan ini adalah mempertahankan pangkalan Halim Perdanakusuma. Tugas lainnya untuk mengamankan Presiden Soekarno bila berada di instalasi militer itu. Pangkalan udara Halim Perdanakusumah adalah basis utama G30S.
Selepas tengah malam 30 September, tepatnya 1 Oktober 1965 dini hari, jadilah peristiwa berdarah penculikan dan pembunuhan 6 jendral AD yaitu:  Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,  Mayjen TNI R. Suprapto ,  Mayjen TNI M.T. Haryono , Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo. Sementara itu AH Nasution berhasil lolos dari penculikan.

Penumpasan G 30 S PKI
1 Oktober 1965, RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi, merebut kembali Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi tanpa pertumpahan darah.  Kemudian RPKAD merangsek ke arah Halim Perdana Kusumah yang diyakini sebagai basis G 30 S PKI.
Halim Perdana Kusuma diserang (2 Oktober 1965), oleh satuan RPKAD Pada pukul 12.00 siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso (3 Oktober 1965) dan ditemukan sumur tua tempat para jendral AD dibenamkan di dalamnya. Sumur tersebut dikenal dengan Sumuir Lubang Buaya. Adapun penggalian sumur tersebut dilakukan tanggal 4 Oktober dan 13 Oktober 1965, disaksikan oleh Mayjend TNI Soeharto, sekaligus diangkatnya mayat jendral-jendral AD yang menjadi korban G 30 S. Fisik mayat-mayat tersebut terlihat rusak akibat penyiksaan kejam sebelumnya.
Soekarno (6 Oktober 1965) mengeluarkan imbauan untuk menciptakan “persatuan nasional“, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.  Sementara itu, Biro Politik CC PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”. Menyusul tanggal 12 Oktober para pemimpin Komunis Uni Sovyet;  Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Soekarno: “Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik…Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan…Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam.”

Bulan Maret 1966  tanggal 11 terbitlah Surat Perintah Sebelas Maret yang terkenal dengan istilah SUPERSEMAR, termasuk terkenal kontroversinya. Supersemar dari Presiden  Soekarno kepada Soeharto untuk “Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan“. Sekaligus mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintahan dengan panglima-panglima Angkatan.
Supersemar seakan-akan menjadi kekuatan tak terbatas bagi Soeharto. Langkah pertama Soeharto adalah melarang PKI. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November 1966. Nyoto mengambil alih kepemimpinan PKI.
Tanggal 16 Maret 1966, Pangkopkamtib atas nama Presiden menangkap 15 Menteri yang diduga PKI. Menyusul perombakan Kabinet Dwikora (27 Maret 1966).
Selepas itu anggota PKI dan simpatisannya diburu, ditahan dan terjadilah pembunuhan yang juga melampaui batas kemanusiaan. Korban anggota PKI dan simpatisannya memang tidak diketahui secara persis ada yang mengatakan 500.000 bahkan ada yang mengatakan sampai dua juta korban.

PKI (Komunisme) dilarang dan Presiden Soekarno Diberhentikan
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung dari tanggal 21 Juni 1966 sampai dengan 6 Juli 1966.
Dalam sidang MPRS tanggal 5 juli 1966 keluar  TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme 
Pidato Nawaksara dibacakan Presiden Soekarno di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan pimpinan MPRS tanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. Sidang MPRS ditutup tanggal 6 Juli 1966, dengan salah satu keputusannya adalah menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.
17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyampaikan  yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka (1-3 Oktober 1966). Mereka menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan korban. Gelombang demontrasi kembali terjadi tanggal 30 Nopember 1966 dengan tuntutan yang sama. Bahkan pada tanggal 9-12 Desember 1966 Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili. Demontrasi Mahasiswa, pelajar dan pemuda baik KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI (20 Desember 1966).
ABRI juga menerbitkan pernyataan keprihatinan pada tanggal 21 Desember 1966, mereka menyatakan agar siapapun akan diambil tindakan bagi yang  tidak mau melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS.”

6 Januari 1967, Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu juga memuat Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan / menjernihkan terhadap peranan Presiden (Soekarno)  dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI.

Soekarno sendiri pada tanggal 10 januari 1967 dalam pidato pelengkap NAWAKSARA  menyatakan mengutuk GESTOK (istilah Soekarno untuk G 30 S) sekaligus menyatakan bahwa G 30 S adalah: satu “complete overrompeling” bagi nya. Sementara itu Pimpinan MPRS menilai bahwa Presiden (Soekarno) masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI (11 Februari 1967) ,bertemu Presiden Soekarno di Bogor, menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum ke-IV.
Puncaknya terjadi tanggal 16 Februari 1967, dimana Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967  yang menolak pelengkapan pidato nawaksara yang disampaikan dengan surat presiden.  Keputusan MPRS tersebut ditanggapi Soekarno dengan penyerahan kekuasaan kepada Pengemban ketetapan MPRS, yakni Jendral Soeharto.
Akhirnya Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7 Maret 1967, memutuskan mencabut Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.
Berakhirlah karir Soekarno, setelah 23 tahun sejak tahun 1945 hingga tahun 1967 memegang tampuk kepemimpinan nasional.

Berbagai Versi
Belakangan, pada masa reformasi, berkembang versi-versi seputar dalang G 30 S. Sementara pada masa orde baru, dalang  G 30 S adalah tunggal yaitu PKI sehingga dibelakang G 30 S diberi imbuhan PKI.
Setidaknya ada 6 versi yang berkembang tentang dalang G 30 S:
1.   Partai Komunis Indonesia (PKI)
2.   Sebagian Perwira Angkatan Darat dengan PKI sebagai Pemain Kedua
3.   Soekarno
4.   Soeharto
5.   Amerika Melalui Central Intelegence Agency (CIA)
6.   Sjam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus Central PKI
Keenam versi mengenai siapa dalang dibalik peristiwa G 30 S tersebut tidak akan memupus peran PKI (Komunis) dalam peristiwa G 30 S. Bahkan bias jadi G 30 S memang tidak memiliki pelaku (aktor) yang tunggal, tetapi keenam aktor tersebut satu sama lain saling memanfaatkan situasi.**** (waiman)
Pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU
Almukaromah, 28 Maret 2017

SUMBER:
1.   Asvi Warman Adam, “Membongkar Manipulasi Sejarah”, Penerbit buku KOMPAS –jakarta, cetakan ketiga tahun 2009.
2.   ekretariat negara RI, “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, penerbit Sekretariat Negara Republim Indonesia, Jakarta 1994.
3.   Anton Tabah, “Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G-30-S / PKI”, penerbit CV Sahabat Klaten – Klaten, cetakan ke V tahun 2014.
4.   Surya Lesmana (koordinator), “Saksi dan Pelaku Gestapu”, Penerbit Media Pressindo – Yogyakarta, Cetakan keempat Agustus 2006.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar