Selasa, 28 Maret 2017

Kebangkitan Komunisme Pasca Madiun Affairs

Komunis Indonesia Bangkit Kembali 1950
Tidak lebih dari tiga tahun, setelah gagalnya pemberontakan Komunis di Madiun (1948), Komunis mampu kembali bangkit. Demokrasi liberal tahun 1950-1959 telah membuka jalan kembalinya PKI (Partai Komunis Indonesia) ke permukaan.
4 Februari 1950, Alimin kembali mengaktifkan dan memimpin PKI. Tetapi setelah DN Aidit dan MH Lukman kembali dari Moskow (Juli 1950), tampuk kepemimpinan PKI dipegang oleh Aidit.
“Buku putih” tentang pemberontakan Madiun 1948 diterbitkan. Sebagai upaya Aidit dan kawan-kawan PKI nya untuk merehabilitasi nama baik PKI terkait Madiun Affairs, dengan menempatkan Komunis (PKI) sebagai korban pergesekan tentara tahun 1948. Mohammad Hatta dengan Re-Ra nya dianggap sebagai salah satu penyebab pergesekan tersebut. Alimin bahkan menuntut penggalian dan penguburan kembali tokoh-tokoh PKI yang dihukum mati akibat Madiun affairs, tetapi hal ini ditolak oleh pemerintah.
Tahun 1951, PKI kembali membuat kerusuhan-kerusuhan di Bogor dan Jakarta, korban kembali berjatuhan. Sukiman sebagai Perdana menteri RI kemudian meredakan situasi dan menangkapi para pemimpin PKI. Aidit kembali lolos dan melarikan diri ke Moskow. PKI menyebut peristiwa penangkapan ini sebagai “Razia Agustus 1951” dan dianggap sebagai provokasi kabinet Sukiman untuk mencari alasan pembubaran PKI.

Jalan Demokrasi Rakyat ala Komunis

DN Aidit kembali ke Indonesia tahun 1953 dan membawa konsep baru yang dikenal dengan “Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”, yang dibacakan dalam Kongres Nasional PKI ke V.
PKI menata kembali partainya. Mereka mengubah bentuk perjuangannya menjadi MKTBP (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan), yaitu :
1.   Perjuangan gerilya di desa yang terdiri dari kaum buruh tani dan tani miskin.
2.   Perjuangan revolusioner kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh angkutan.
3.   Bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama di kalangan angkatan bersenjata.

“Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia” diputuskan sebagai garis politik dan pedoman bekerja praktis Partai Komunis Indonesia.

Aidit merevisi taktik open rebellion (perang terbuka) ala Muso, karena PKI belum menjadi King Maker. Dan dibentuklah Front Nasional, yaitu kerjasama dengan Partai-Partai lain dan kekuatan Buruh Industri serta petani, dengan mempertahankan indenpendensi PKI. Taktik ini sejalan dengan taktik yang dilakukan Uni Soviet dan RRC terhadap negara-negara baru merdeka di Asia (termasuk Indonesia) dalam rangka global strategy gerakan Komunis Internasional.

Front Nasional hanyalah taktik jangka pendek atau sementara, AD/ART PKI menggariskan: “Jika revolusi Indonesia yang bersifat nasional dan demokratis sudah mencapai kemenangan sepenuhnya, kewajiban PKI selanjutnya adalah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan sistem Sosialisme dan sistem Komunisme di Indonesia…”
Untuk kepentingan itu, PKI mengadakan aliansi dengan Partai yang memiliki kekuatan politik yaitu PNI.
Sementara itu, Biro Khusus (BC) ditugaskan kepada Sjam Kamaruzaman untuk melakukan infiltrasi komunisme kedalam tubuh tentara dan kepolisian. BC juga bertugas untuk memecah-belah kekuatan tentara dan kepolisian sehingga tercipta friksi internal.
Setelah kabinet Sukiman jatuh (23 Februari 1952), PKI menawarkan kepada PNI untuk membentuk kabinet tanpa Masyumi. Walaupun akhirnya kabinet yang terbentuk (kabinet Wilopo- PNI), tetap mengikut sertakan Masyumi.
Tidak lama, kabinet Wilopo jatuh, terbentuklah kabinet Ali Sostroamijoyo (PNI) yang meniadakan unsur Masyumi dan PSI (yang dianggap musuh PKI). PKI menyatakan bahwa kabinet Ali Sostroamijoyo I ini adalah “kemenangan gilang gemilang daripada demokrasi terhadap Fasisme”.
Pemilu tahun 1955, PKI berhasil meraih 6 juta suara, dan menempatkan PKI sebagai 4 besar pemenang pemilu setelah PNI, Masyumi dan NU. Ironisnya, PKI tidak mendapat tempat di kabinet setelah pemilu 1955. Kabinet Ali Sastroamijoyo II terbentuk dari PNI, Masyumi dan NU tanpa PKI.

Soekarno Miring ke Kiri (Miri)
5 Juli 1959 terbitlah Dekrit Presiden untuk membubarkan Parlemen dan menghentikan Konstituante yang sedang bersidang membicarakan dasar Negara, dimana dari unsur-unsur Islam hampir saja dapat menggolkan Dasar Negara islam. Perdebatan tentang dasar Negara ditutup dan Presiden melalui dekritnya menyatakan untuk kembali kepada UUD 1945.
Parlemen dibubarkan dan dibentuklah MPRS dan DPR GR berdasarkan Penetapan Presiden. DPR-GR (Dewan Perwakiran Rakyat Gotong Royong), keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh PNI, NU, dan PKI, sesuai dengan konsep NASAKOM.
Demokrasi Terpimpin dijalankan dan pos-pos penting pemerintahan diserahkan kepada perwira-perwira militer.
Soekarno memberi penjelasan tentang Dekrit dengan Pidatonya tanggal 17 Agustus 1959. Dan melalui Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang diketuai oleh Soekarno sendiri, agar isi pidato tersebut dirumuskan sebagai GBHN. Adalah DN Aidit (CC PKI) menjadi panitia kerja DPA, memanfaatkan moment tersebut untuk memasukan program-program PKI ke dalam GBHN. Rumusan DPA tersebut disebut MANIPOL (manifestasi politik) RI. Aidit telah mengisi MANIPOL RI dengan thesis revolusi PKI yaitu “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia” (MIRI).
Konsepsi Front Nasional PKI kemudian diadopsi Soekarno dan diracik menjadi NASAKOM yaitu persatuan Nasionalis (PNI), Agama (NU) dan Komunis (PKI). Soekarno benar-benar semakin kelihatan miring ke kiri dan berwarna merah total. Bahkan melalui Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno, bahwa tanpa PKI Presiden akan menjadi lemah terhadap TNI.
Untuk mengimbangi TNI, PKI menyarankan Presiden agar membentuk angkatan kelima yang terdiri dari buruh dan tani. PKI juga menuntut agar dibentuk Kabinet Nasakom, karena anggota PKI hanya sedikit yang duduk dalam kabinet dengan menteri-menteri PKI (DN Aidit, NH Lukman, Nyoto) yang tidak memegang departemen.
Sebenarnya Ro’is Aam NU, KH. Wahab Chasbullah dan beberapa tokoh NU Sesungguhnya Menolak Kabinet Naskom Dan Menolak Kerja Sama Dengan PKI.
Konsepsi NASAKOM ini adalah juga merupakan ide marxisme-nya Soekarno sejak tahun 1926. Soekarno pada tahun 1926 dalam seri karangannya yang dimuat dalam majalah Indonesia Moeda yaitu Nasionalisme, Islam, dan Marxisme.

Politik Konfrontasi dan Poros Jakarta – Peking (RRC, Komunis Cina)

Politik Luar Negri RI yang “bebas aktif” berubah menjadi “politik konfrontatif” kepada musuh-musuh komunis. Dunia dibagi dalam Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo adalah kekuatan baru yaitu negara-negara anti imperialis yang komunis dan pro komunis. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).

Bentuk perwujudan poros anti imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta – Phnom Penh – Hanoi – Peking – Pyong Yang (Indonesia dan Komunis RRC).
Politik Konfrontasi juga diarahkan kepada Malaysia, yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris.

Soekarno Mengutuk Komunisto Fobia
Masyumi dan PSI yang selain terdepak dari kabinet juga mengkhawatirkan haluan Komunisme Soekarno. Akibatnya terjadi pemberontakan PRRI / Permesta oleh Masyumi dan PSI.
Pertengahan tahun 1960, PKI mencoba kekuatannya dengan berkonforantasi dengan Angkatan Darat (AD). PKI menuding AD tidak serius menumpas pemberontakan PRRI / Permesta.
PKI juga melakukan pengacauan dibeberapa daerah (Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan), untuk memeprlemah TNI AD. Namun TNI AD dapat menghentikan dan membekukan kegiatan PKI. Penangkapan dan pemeriksaan terhadap tokoh-tokoh PKI dilakukan dan dilarang juga media massa PKI. TNI AD juga menyarankan kepada Soekarno agar tidak percaya kepada loyalitas PKI.
Soekarno lagi-lagi menampakan keberpihakannya kepada komunis, Soekarno malah memperingatkan TNI AD supaya tidak terjangkit komunisto fobia (anti komunis)dan mencabut segala pembatasan terhadap PKI. Ia pada tanggal 17 Agustus 1960 dalam pidatonya ”Laksana Malaikat Yang Menyerbu dari Langit Jalannya Revolusi Kita”, dengan lantang mengutuk orang-orang yang disebutnya Komunisto fobia.

Soekarno Melindungi PKI (Komunis)
Tahun 1961, Panitia Tiga Menteri (AH Nasution, Ipik Gandamana dan Roeslan Abdul Gani) memanggil DN Aidit (CC PKI). Penilaian Panitia Tiga Menteri disimpulkan bahwa politik dan idiologi PKI mempunyai tujuan lain dan tidak berasaskan Pancasila. Masalah ini kemudian dilaporkan kepada presiden Soekarno.
Dengan dilakukan penyesuaian pada AD/ART PKI, Presiden Soekarno menilai bahwa kehadiran PKI dapat dikendalikan. Oleh karena itu berdasarkan Keputusan Presiden No. 128/1961 ditetapkan bahwa PKI adalah partai yang sah.
PKI kemudian menafsir pancasila sebagai alat pemersatu. Terjadi pula kasus “Heboh Pancasila”. Heboh ini bermula dari ceramah DN Aidit di depan para peserta Kader Revolusi Nasional (Pekarev) bulan Oktober 1964, ia mengatakan: “… dan disinilah betulnya Pancasila sebagai alat pemersatu. Sebab kalau sudah satu semua… Pancasila tidak perlu lagi…”. Di bagian lain ceramahnya Aidit berkata: “…Landasan Idiil Pancasila yang lahir pada tahun 45 adalah NASAKOM …”.

Hampir semua media massa waktu itu memunculkan reaksi atas peristiwa “Heboh Pancasila”, kecuali media-media milik Komunis. ”Heboh Pancasila” berakhir setelah Soekarno memanggil seluruh partai politik kemudian bersama-sama menyatakan dukungan terhadap pancasila.

Kongres Nasional PKI VII (April 1962) dikatakan: “PKI tidak memandang pekerjaan dalam parlemen sebagai pekerjaan terpokok dan bukan satu-satunya bentuk perjuangan. PKI mendasarkan politiknya atas analisis Marxis mengenal keadaan kongkrit dan perimbangan kekuatan”.

Perimbangan kekuatan yang dimaksud adalah Kekerasan, inilah pekerjaan terpokok komunis untuk mencapai tujuan. Sebagaimana yang diingatkan oleh Taufik Ismail bahwa dalam Manifesto Komunis yang disusun oleh Marx dan Engels bahwa Tujuan mencapai kekuasaan hanya dapat dicapai dengan menggunakan kekerasan , menggulingkan seluruh sistem sosial yang ada.

Tahun 1964 hingga 1965, PKI meningkatkan intensitas offensive revolusioner-nya terhadap lawan-lawan politik anti PKI yang dituduhnya sebagai “kontra Revolusi”. Aksi-aksi terror dilakukan secara acak, sabotase terhadap Kereta Api, gerakan riset di kecamatan-kecamatan untuk memastikan kekuatan petani miskin pro komunis, aksi menuntut penyitaan milik Inggris dan Amerika, aksi menuntut penggantian pejabat yang anti PKI (retooling), dan lain lain.

Termasuk kekerasan kepada Pelajar Islam Indonesia (PII) saat mengadakan Mental Training jam 04.30 di Kanigoro Kediri (13 Januari 1965), diserbu 3000 anggota PKI yang dipimpin oleh ketua PR cabang Kediri. Para pelajar islam, Imam Masjid dan Kiai menjadi korban keganasan PKI. Konon mereka merusak masjid dan menginjak-injak Al-Qur’an sambil berteriak teriak: “Ganyang Masyumi”, “Ganyang santri”, “Ganyang sorban”, “Ganyang Kapitalis”, “Dulu waktu peristiwa Madiun besar kepala, kini rasakan pembalasan”.
27 Agustus 1964 dibentuk kabinet Dwikora dimana tokoh tokoh PKI duduk sebagai Menko dan Menteri. Memperkuat posisi PKI di pemerintahan. Belum lagi pembentukan Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kontar), benar benar sejalan dengan program PKI.
Penghujung Tahun 1964, Wakil PM III Chaerul Shaleh, membongkar dokumen rahasia CC PKI yang berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI dewasa ini” (1963). Dokumen itu menyatakan bahwa “Revolusi Agustus 45” telah gagal dan belum usai. Dikatakan gagal karena pemimpin pemerintahan Revolusioner bukan ditangan kaum Komunis. Oleh karena itu revolusi perlu disiapkan dengan cara merebut pimpinan dari tangan kaum borjuis. Dokumen juga menyatakan bahwa PKI menilai dirinya sudah kuat dan merasa semua golongan sudah ada di pihaknya.

Dokumen ini dibantah PKI dalam sidang kabinet (desember 1964). PKI balik menuduh bahwa dokumen itu dibuat oleh kaum “trotskyst” yang dibantu kaum Nekolim untuk menghancurkan PKI.
Lagi-lagi Soekarno menjadi pembela PKI (Komunis) dengan memanggil para pimpinan partai ke Istana Bogor. Soekarno memerintahkan para pemimpin partai untuk menyelesaikan persengketaan antar partai. 12 Desember 1964 sepuluh partai politik menandatangani “Deklarasi Bogor” sebagai kebulatan tekad partai-partai di hadapan Pemimpin Besar Revolusi. Soal dokumen rahasia tidak disebut-sebut dalam deklarasi tersebut dan masalah dipaksa selesai. Disini Soekarno menyeret masalah Partai Komunis menjadi masalah seluruh partai.
Anehnya Partai Murba yang membongkar dokumen Rahasia CC PKI, pada tanggal 5 Januari 1965, dibekukan oleh Soekarno melalui keputusan Presiden.**** (waiman)
pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU
almukaromah, 28 Maret 2017

Sumber:
1.   DN Aidit, “Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”, Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1955. Diedit dan dimuat oleh Ted Sprague (5 April, 2013) dalam www.marxists.org,https://www.marxists.org/indonesia/indones/1954-AiditJalankeDemokrasi.htm
2.   AD ART Partai Komunis Indonesia, dalam www.marxists.org,https://www.marxists.org/indonesia/indones/1954-AiditJalankeDemokrasi.htm
3.   Sekretariat negara RI, “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, penerbit Sekretariat Negara Republim Indonesia, Jakarta 1994.
4.   Anton Tabah, “Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G-30-S/PKI”, penerbit CV. Sahabat Klaten – Klaten, cetakan ke V tahun 2014.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar