Komunis Indonesia Bangkit
Kembali 1950
Tidak lebih dari tiga
tahun, setelah gagalnya pemberontakan Komunis di Madiun (1948), Komunis mampu
kembali bangkit. Demokrasi liberal tahun 1950-1959 telah membuka jalan
kembalinya PKI (Partai Komunis Indonesia) ke permukaan.
4 Februari 1950,
Alimin kembali mengaktifkan dan memimpin PKI. Tetapi setelah DN Aidit dan MH
Lukman kembali dari Moskow (Juli 1950), tampuk kepemimpinan PKI dipegang oleh Aidit.
“Buku putih” tentang
pemberontakan Madiun 1948 diterbitkan. Sebagai upaya Aidit dan kawan-kawan PKI
nya untuk merehabilitasi nama baik PKI terkait Madiun Affairs, dengan
menempatkan Komunis (PKI) sebagai korban pergesekan tentara tahun 1948. Mohammad
Hatta dengan Re-Ra nya dianggap sebagai salah satu penyebab pergesekan
tersebut. Alimin bahkan menuntut penggalian dan penguburan kembali tokoh-tokoh
PKI yang dihukum mati akibat Madiun affairs, tetapi hal ini ditolak oleh
pemerintah.
Tahun 1951, PKI kembali membuat kerusuhan-kerusuhan di Bogor dan
Jakarta, korban kembali berjatuhan. Sukiman sebagai Perdana menteri RI kemudian
meredakan situasi dan menangkapi para pemimpin PKI. Aidit kembali lolos dan
melarikan diri ke Moskow. PKI menyebut peristiwa penangkapan ini sebagai “Razia Agustus 1951” dan dianggap sebagai provokasi kabinet
Sukiman untuk mencari alasan pembubaran PKI.
Jalan Demokrasi Rakyat ala
Komunis
DN Aidit kembali ke Indonesia tahun 1953 dan membawa konsep baru
yang dikenal dengan “Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”, yang dibacakan dalam Kongres Nasional PKI ke
V.
PKI menata kembali
partainya. Mereka mengubah bentuk perjuangannya menjadi MKTBP (Metode Kombinasi
Tiga Bentuk Perjuangan), yaitu :
1.
Perjuangan gerilya di desa yang terdiri dari kaum buruh tani dan
tani miskin.
2.
Perjuangan revolusioner kaum buruh di kota-kota, terutama kaum
buruh angkutan.
3.
Bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama di kalangan
angkatan bersenjata.
“Jalan Demokrasi Rakyat bagi
Indonesia” diputuskan
sebagai garis politik dan pedoman bekerja praktis Partai Komunis Indonesia.
Aidit merevisi taktik open rebellion (perang terbuka) ala Muso, karena PKI
belum menjadi King Maker. Dan dibentuklah Front Nasional, yaitu kerjasama
dengan Partai-Partai lain dan kekuatan Buruh Industri serta petani, dengan
mempertahankan indenpendensi PKI. Taktik ini sejalan dengan taktik yang
dilakukan Uni Soviet dan RRC terhadap negara-negara baru merdeka di Asia
(termasuk Indonesia) dalam rangka global strategy gerakan Komunis
Internasional.
Front Nasional hanyalah taktik jangka pendek atau sementara,
AD/ART PKI menggariskan: “Jika revolusi Indonesia yang
bersifat nasional dan demokratis sudah mencapai kemenangan sepenuhnya,
kewajiban PKI selanjutnya adalah mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk mewujudkan sistem Sosialisme dan sistem Komunisme di Indonesia…”
Untuk kepentingan itu,
PKI mengadakan aliansi dengan Partai yang memiliki kekuatan politik yaitu PNI.
Sementara itu, Biro
Khusus (BC) ditugaskan kepada Sjam Kamaruzaman untuk melakukan infiltrasi
komunisme kedalam tubuh tentara dan kepolisian. BC juga bertugas untuk
memecah-belah kekuatan tentara dan kepolisian sehingga tercipta friksi
internal.
Setelah kabinet
Sukiman jatuh (23 Februari 1952), PKI menawarkan kepada PNI untuk membentuk
kabinet tanpa Masyumi. Walaupun akhirnya kabinet yang terbentuk (kabinet
Wilopo- PNI), tetap mengikut sertakan Masyumi.
Tidak lama, kabinet Wilopo jatuh, terbentuklah kabinet Ali
Sostroamijoyo (PNI) yang meniadakan unsur Masyumi dan PSI (yang dianggap musuh
PKI). PKI menyatakan bahwa kabinet Ali Sostroamijoyo I ini adalah “kemenangan gilang gemilang
daripada demokrasi terhadap Fasisme”.
Pemilu tahun 1955, PKI
berhasil meraih 6 juta suara, dan menempatkan PKI sebagai 4 besar pemenang
pemilu setelah PNI, Masyumi dan NU. Ironisnya, PKI tidak mendapat tempat di
kabinet setelah pemilu 1955. Kabinet Ali Sastroamijoyo II terbentuk dari PNI,
Masyumi dan NU tanpa PKI.
Soekarno Miring ke Kiri (Miri)
5 Juli 1959 terbitlah
Dekrit Presiden untuk membubarkan Parlemen dan menghentikan Konstituante yang
sedang bersidang membicarakan dasar Negara, dimana dari unsur-unsur Islam
hampir saja dapat menggolkan Dasar Negara islam. Perdebatan tentang dasar
Negara ditutup dan Presiden melalui dekritnya menyatakan untuk kembali kepada
UUD 1945.
Parlemen dibubarkan
dan dibentuklah MPRS dan DPR GR berdasarkan Penetapan Presiden. DPR-GR (Dewan
Perwakiran Rakyat Gotong Royong), keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh PNI,
NU, dan PKI, sesuai dengan konsep NASAKOM.
Demokrasi Terpimpin
dijalankan dan pos-pos penting pemerintahan diserahkan kepada perwira-perwira
militer.
Soekarno memberi penjelasan tentang Dekrit dengan Pidatonya
tanggal 17 Agustus 1959. Dan melalui Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang diketuai oleh Soekarno
sendiri, agar isi pidato
tersebut dirumuskan sebagai GBHN. Adalah DN Aidit (CC PKI) menjadi panitia
kerja DPA, memanfaatkan moment tersebut untuk memasukan program-program PKI ke
dalam GBHN. Rumusan DPA tersebut disebut MANIPOL (manifestasi politik) RI.
Aidit telah mengisi MANIPOL RI dengan thesis revolusi PKI yaitu “Masyarakat Indonesia dan
Revolusi Indonesia” (MIRI).
Konsepsi Front
Nasional PKI kemudian diadopsi Soekarno dan diracik menjadi NASAKOM yaitu
persatuan Nasionalis (PNI), Agama (NU) dan Komunis (PKI). Soekarno benar-benar
semakin kelihatan miring ke kiri dan berwarna merah total. Bahkan melalui
Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno, bahwa tanpa PKI Presiden
akan menjadi lemah terhadap TNI.
Untuk mengimbangi TNI,
PKI menyarankan Presiden agar membentuk angkatan kelima yang terdiri dari buruh
dan tani. PKI juga menuntut agar dibentuk Kabinet Nasakom, karena anggota PKI
hanya sedikit yang duduk dalam kabinet dengan menteri-menteri PKI (DN Aidit, NH
Lukman, Nyoto) yang tidak memegang departemen.
Sebenarnya Ro’is Aam
NU, KH. Wahab Chasbullah dan beberapa tokoh NU Sesungguhnya Menolak Kabinet
Naskom Dan Menolak Kerja Sama Dengan PKI.
Konsepsi NASAKOM ini adalah juga merupakan ide marxisme-nya Soekarno sejak tahun 1926. Soekarno pada
tahun 1926 dalam seri karangannya yang dimuat dalam majalah Indonesia Moeda
yaitu Nasionalisme, Islam, dan Marxisme.
Politik Konfrontasi dan Poros
Jakarta – Peking (RRC, Komunis Cina)
Politik Luar Negri RI yang “bebas aktif” berubah menjadi “politik konfrontatif” kepada musuh-musuh komunis. Dunia dibagi
dalam Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo adalah kekuatan baru yaitu negara-negara
anti imperialis yang komunis dan pro komunis. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yakni
negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).
Bentuk perwujudan poros anti imperialis dan kolonialis itu
dibentuk poros Jakarta – Phnom Penh – Hanoi – Peking – Pyong Yang (Indonesia dan Komunis RRC).
Politik Konfrontasi
juga diarahkan kepada Malaysia, yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme
Inggris.
Soekarno Mengutuk Komunisto
Fobia
Masyumi dan PSI yang
selain terdepak dari kabinet juga mengkhawatirkan haluan Komunisme Soekarno.
Akibatnya terjadi pemberontakan PRRI / Permesta oleh Masyumi dan PSI.
Pertengahan tahun
1960, PKI mencoba kekuatannya dengan berkonforantasi dengan Angkatan Darat
(AD). PKI menuding AD tidak serius menumpas pemberontakan PRRI / Permesta.
PKI juga melakukan
pengacauan dibeberapa daerah (Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi
Selatan), untuk memeprlemah TNI AD. Namun TNI AD dapat menghentikan dan
membekukan kegiatan PKI. Penangkapan dan pemeriksaan terhadap tokoh-tokoh PKI
dilakukan dan dilarang juga media massa PKI. TNI AD juga menyarankan kepada
Soekarno agar tidak percaya kepada loyalitas PKI.
Soekarno lagi-lagi menampakan keberpihakannya kepada komunis,
Soekarno malah memperingatkan TNI AD supaya tidak terjangkit komunisto fobia (anti komunis), dan mencabut segala pembatasan terhadap PKI.
Ia pada tanggal 17 Agustus 1960 dalam pidatonya ”Laksana Malaikat Yang Menyerbu
dari Langit Jalannya Revolusi Kita”, dengan lantang mengutuk orang-orang yang disebutnya Komunisto fobia.
Soekarno Melindungi PKI
(Komunis)
Tahun 1961, Panitia
Tiga Menteri (AH Nasution, Ipik Gandamana dan Roeslan Abdul Gani) memanggil DN
Aidit (CC PKI). Penilaian Panitia Tiga Menteri disimpulkan bahwa politik dan
idiologi PKI mempunyai tujuan lain dan tidak berasaskan Pancasila. Masalah ini
kemudian dilaporkan kepada presiden Soekarno.
Dengan dilakukan
penyesuaian pada AD/ART PKI, Presiden Soekarno menilai bahwa kehadiran PKI
dapat dikendalikan. Oleh karena itu berdasarkan Keputusan Presiden No. 128/1961
ditetapkan bahwa PKI adalah partai yang sah.
PKI kemudian menafsir pancasila sebagai alat pemersatu. Terjadi
pula kasus “Heboh Pancasila”. Heboh ini bermula dari ceramah DN Aidit di depan para peserta
Kader Revolusi Nasional (Pekarev) bulan Oktober 1964, ia mengatakan: “… dan disinilah betulnya
Pancasila sebagai alat pemersatu. Sebab kalau sudah satu semua… Pancasila tidak
perlu lagi…”. Di bagian lain
ceramahnya Aidit berkata: “…Landasan Idiil Pancasila yang lahir pada tahun 45
adalah NASAKOM …”.
Hampir semua media massa waktu itu memunculkan reaksi atas
peristiwa “Heboh Pancasila”, kecuali media-media milik Komunis. ”Heboh Pancasila” berakhir
setelah Soekarno memanggil seluruh partai politik kemudian bersama-sama
menyatakan dukungan terhadap pancasila.
Kongres Nasional PKI VII (April 1962) dikatakan: “PKI tidak memandang pekerjaan
dalam parlemen sebagai pekerjaan terpokok dan bukan satu-satunya bentuk
perjuangan. PKI mendasarkan politiknya atas analisis Marxis mengenal keadaan
kongkrit dan perimbangan kekuatan”.
Perimbangan kekuatan yang dimaksud adalah Kekerasan, inilah
pekerjaan terpokok komunis untuk mencapai tujuan. Sebagaimana yang diingatkan
oleh Taufik Ismail bahwa dalam Manifesto Komunis yang disusun oleh Marx dan Engels bahwa
Tujuan mencapai kekuasaan hanya dapat dicapai dengan menggunakan kekerasan ,
menggulingkan seluruh sistem sosial yang ada.
Tahun 1964 hingga 1965, PKI meningkatkan intensitas offensive revolusioner-nya terhadap lawan-lawan politik anti PKI
yang dituduhnya sebagai “kontra Revolusi”. Aksi-aksi terror dilakukan secara
acak, sabotase terhadap Kereta Api, gerakan riset di kecamatan-kecamatan untuk
memastikan kekuatan petani miskin pro komunis, aksi menuntut penyitaan milik
Inggris dan Amerika, aksi menuntut penggantian pejabat yang anti PKI (retooling), dan lain lain.
Termasuk kekerasan kepada Pelajar Islam Indonesia (PII) saat
mengadakan Mental Training jam 04.30 di Kanigoro Kediri (13 Januari 1965),
diserbu 3000 anggota PKI yang dipimpin oleh ketua PR cabang Kediri. Para
pelajar islam, Imam Masjid dan Kiai menjadi korban keganasan PKI. Konon mereka
merusak masjid dan menginjak-injak Al-Qur’an sambil berteriak teriak: “Ganyang Masyumi”, “Ganyang santri”, “Ganyang sorban”, “Ganyang Kapitalis”, “Dulu waktu peristiwa Madiun
besar kepala, kini rasakan pembalasan”.
27 Agustus 1964
dibentuk kabinet Dwikora dimana tokoh tokoh PKI duduk sebagai Menko dan
Menteri. Memperkuat posisi PKI di pemerintahan. Belum lagi pembentukan Komando Tertinggi
Retooling Aparatur Revolusi (Kontar), benar benar sejalan dengan program PKI.
Penghujung Tahun 1964, Wakil PM III Chaerul Shaleh, membongkar
dokumen rahasia CC PKI yang berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI
dewasa ini” (1963). Dokumen itu
menyatakan bahwa “Revolusi Agustus 45” telah gagal dan belum usai. Dikatakan
gagal karena pemimpin pemerintahan Revolusioner bukan ditangan kaum Komunis.
Oleh karena itu revolusi perlu disiapkan dengan cara merebut pimpinan dari
tangan kaum borjuis. Dokumen juga menyatakan bahwa PKI menilai dirinya sudah
kuat dan merasa semua golongan sudah ada di pihaknya.
Dokumen ini dibantah PKI dalam sidang kabinet (desember 1964).
PKI balik menuduh bahwa dokumen itu dibuat oleh kaum “trotskyst” yang dibantu kaum Nekolim untuk
menghancurkan PKI.
Lagi-lagi Soekarno
menjadi pembela PKI (Komunis) dengan memanggil para pimpinan partai ke Istana
Bogor. Soekarno memerintahkan para pemimpin partai untuk menyelesaikan
persengketaan antar partai. 12 Desember 1964 sepuluh partai politik
menandatangani “Deklarasi Bogor” sebagai kebulatan tekad partai-partai di
hadapan Pemimpin Besar Revolusi. Soal dokumen rahasia tidak disebut-sebut dalam
deklarasi tersebut dan masalah dipaksa selesai. Disini Soekarno menyeret
masalah Partai Komunis menjadi masalah seluruh partai.
Anehnya Partai Murba
yang membongkar dokumen Rahasia CC PKI, pada tanggal 5 Januari 1965, dibekukan
oleh Soekarno melalui keputusan Presiden.**** (waiman)
pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU
almukaromah, 28 Maret 2017
Sumber:
1.
DN Aidit, “Jalan Demokrasi Rakyat bagi
Indonesia”, Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1955. Diedit dan dimuat oleh Ted
Sprague (5 April, 2013) dalam
www.marxists.org,https://www.marxists.org/indonesia/indones/1954-AiditJalankeDemokrasi.htm
2.
AD ART Partai Komunis
Indonesia, dalam www.marxists.org,https://www.marxists.org/indonesia/indones/1954-AiditJalankeDemokrasi.htm
3.
Sekretariat negara RI, “Gerakan 30 September
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”,
penerbit Sekretariat Negara Republim Indonesia, Jakarta 1994.
4.
Anton Tabah, “Jenderal Besar Nasution Bicara
Tentang G-30-S/PKI”, penerbit CV. Sahabat Klaten
– Klaten, cetakan ke V tahun 2014.
0 komentar:
Posting Komentar