Mengabdi (Ibadah) kepada Allah Ta’ala adalah fitrah
manusia. Oleh karena itu mengabdi (ibadah), sudah menjadi tugas hidup manusia.
Tidak ada perintah dari Allah SWT kepada manusia kecuali agar manusia mengabdi
kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala: Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah (mengabdi kepada ) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. 98:5)
~ pengertian ibadah ~
Al-Ma’luf dalam kamus Al-Munjid mengatakan bahwa ibadah dari segi bahasa
mengandung lima arti: (1) Wahhadahu / MengEsa-kan Allah, (2) Khaddamahu /
melayani kehendaknya, (3) Khodla’a Lahu / tunduk patuh berserah diri padanya,
(4) Dzalla Alaihi / berendah diri dihadapannya, (5) Tho’a lahu / taat pada
perintahnya [Almunjid Fillughah, hlm. 326]
Senada dengan Ma’luf, Raghib Al-Isfahany dalam Mufrodat Alfadz Al-Qur’an
mengatakan bahwa: “Ubudiyyah adalah menampakan kerendahdirian. Sementara IBADAH
berpangkal dari rasa rendah diri. Karena sesungguhnya Ibadah itu adalkah puncak
kerendah dirian, dan hal itu tidak bisa dihaturkan kecuali hanya kepada Pemilik
puncak keutamaan yaitu Allah Ta’ala” [Mufrodat, hlm. 42].

~ rendah diri dan cinta ~
Nampak secara bahasa, bahwa ibadah itu didasari oleh dua rasa yang utama, yaitu
rasa cinta kepada Allah dan rasa rendah diri dihadapan Allah Ta’ala.
Tanpa dua rasa yang utama itu tidaklah mungkin seorang manusia sanggup menjadi
hamba Allah. Sebab menjadi hamba Allah berarti menjadi “budak” yang mendapat
titah perintah Allah. Bagaimana mungkin manusia mau di ‘titah’ oleh perintah
Allah dalam kondisi sebagai ‘budak / hamba’, jika masih ada rasa ‘tinggi diri’
dihadapan Allah.
Rasa ‘tinggi diri’ inilah yang pernah membuat Iblis laknatullah gagal menjadi
hamba Allah SWT, karena membangkang terhadap perintah / hukum Allah. Ketika
Allah memerintahkan untuk sujud kepada Adam AS sebagai penghormatan terhadap
kekhilafahan Allah dimuka bumi, Iblis enggan sujud karena ‘tinggi diri’ /
sombong. Dengan itu, cukup bagi Allah memvonis Iblis sebagai PEMBANGKANG /
Kafir (23:34). Iblis membangkang kepada titah perintah Allah karena merasa
‘tinggi diri’. Ia merasa bahwa pilihan Allah kepada Adam AS itu salah. Ada yang
lebih baik ,dan lebih pantas jadi khalifah, daripada Adam AS yaitu dirinya
(7:12).
Rasa ‘tinggi diri’ ini juga telah menghinggapi manusia modern’ saat ini dimana
hukum-hukum Allah ditolaknya karena tinggi diri’. Manusia tinggi diri’ saat ini
malah menganggap ada hukum produk manusia yang lebih baik daripada hukum Allah,
sehingga ditolaknya hukum Allah tersebut. Sebagaimana terhadap Iblis, Allah SWT
juga memvonis manusia yang menolak hukum Allah dengan vonis keras sebgai
PEMBANGKANG / Kafir (5:44,45,47).
Rasa cinta juga adalah dasar dan motivasi orang mengabdi. Ada pepatah: “Man
Ahabba Syai’an Abadahu” (barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka ia akan
mengabdikan diri pada sesuatu yang dicintyainya itu).
Bayangkan jika manusia mentaati Allah Ta’ala, tanpa didasari dengan rasa cinta
kepada Allah. Pasti menjadi ketaatan yang gersang dan serba terpaksa.
Asy-Syahid Imaam Awwal mengingatkan dengan indah: “taat patuh tanpa rasa cinta
setia akan merasakan kaku-tegang dan kurus-kering-tandus, laksana suara tanpa
irama. Bahkan kadang-kadang terasakan sebagai sesuatu yang keras dan kejam,
kasar dan bengis”.
~Taat, tunduk dan patuh~
Kalau rasa rendah diri dan cinta kepada Allah adalah dasar motivasi manusia
melakukan pengabdian kepada Allah, maka taat adalah ibadah dalam tataran
praktis. Jadi praktek ibadah adalah taat. Taat kepada Allah ta’ala, berarti
mentaati perintah / hukum-Nya.
Firman Allah SWT: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih
putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak
ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan. (QS. 9:31)
Ayat diatas menegaskan bahwa orang Yahudi dan nashrani
menyembah ulama’ dan pemimpin mereka (akhbar dan ruhban). Ada dua pertanyaan
mendasar dari ayat ini. [1] kenapa ulama dan pemimpin mereka menjadi Arbab
(tuhan tandingan Allah)?, [2] apa yang dimaksud menyembah ulama dan pemimpin
itu?
Kedua pertanyaan tersebut dapat digambarkan dalam riwayat berikut ini; “Saya
mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku.
Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu.”
Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau membaca ayat ini:
Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh, hingga selesai. Saya
berkata, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya, “Bukankah
para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian
mengharamkannya; menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian
menghalalkannya.” Aku menjawab, “Memang begitulah.” Beliau bersabda, “Itulah
ibadah (penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka.” (HR
ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim)”.
Para ulama yahudi dan nashrani berani menghalalkan yang diharamkan Allah, dan
mengharamkan yang dihalalkan Allah. Berarti mereka telah berani membuat hukum
sendiri diluar hukum Allah Ta’ala. Padahal hak membuat hukum adalah hak Allah semata
sebagai RABB. Firman Allah: "Menetapkan hukum hanya hak Allah. Dia telah memerintahkan agar
kamu tidak menyembah selain Dia" (QS Yusuf [12]: 40)
Al-Quran juga menyebut syurakâ’, sekutu-sekutu atau sesembahan selain-Nya yang
membuat aturan bagi kehidupan. Allah Swt. berfirman: Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah? (QS al-Syura [42]: 21).
Itulah sebabnya, kenapa dalam QS 9:31 ulama dan pemimpin mereka disebut ARBAB
(Rabb / Tuhan tandingan Allah). Sebabnya; karena mereka mensabot hak mutlak
Allah Ta’ala sebagai satu-satunya Dzat yang berhak membuat hukum.
Ummatnya disebut menyembah ulama’ dan pemimpin, karena taat dan mengikuti hukum
/ aturan yang diproduk mereka.
Menjadi HAMBA ALLAH TA’ALA berarti taat tunduk dan patuh kepada perintah /
hukum Allah, tidak kepada hukum yang lainya. Dan ketaatannya tersebut didasari
motivasi rasa rendah diri dihadapan Allah dan cinta kepada Allah Ta’ala.*** (waiman)
Almukaromah, 4 Maret 2017.
0 komentar:
Posting Komentar