Selasa, 28 Maret 2017

dari SEMUT belajar KUAT

Semut dianggap Lemah…

Padahal ia bergerak dan bekerja 24 jam sehari dengan kecepatan 0,5 KM/jam. Jika diukur dengan volume 1/130, maka kecepatan semut seukuran manusia adalah 80 KM/jam.

Semut dianggap Sepele…

Padahal kekuatan semut terletak pada persaudaraan dan kerjasama Tim yang luput dari perhatian yang melihatnya. Semut pencari makanan dan semut tempur berbagi peran dengan tanggungjawab yang sama.

Semut selalu berbagi makanan..

Semut tidak hanya membawa butiran makanan di dalam tubuhnya, tetapi juga saling memberi makan dari mulut ke mulut. Ketika semut pemburu pulang membawa makanan cair, ia menggelengkan kepalanya ke kanan-kiri untuk menarik perhatian kawan-kawannya atau langsung menghampiri mereka dan menunjukkan butiran makanan di mulutnya. 84 Makanan cair dipompa dari tembolok sehingga pembagian makanan berlangsung cepat. Pertukaran makanan ini merupakan contoh berbagi yang luar biasa. Sekam dan biji-bijian yang dibawa ke sarang juga dimakan semua semut bersama-sama. Oleh karena itu, kebutuhan makanan seluruh koloni dapat dipenuhi tanpa masalah.

Semut dianggap Kecil…

Padahal ia tangguh dan kuat. Kekuatannya adalah kekuatan kolektif dan berbagi beban.

Semua spesies semut, yang jumlahnya mencapai kira-kira 8800 spesies, mencari makanan dan membawanya pulang dengan cara yang berbeda-beda. Dalam spesies-spesies tertentu, semut berburu sendirian dan membawa pulang makanannya masing-masing. Spesies lain berburu berkelompok dan membawa serta menjaga makanannya bersama-sama.

Kalau mendapatkan makanan yang ukurannya cocok bagi tubuhnya, biasanya semut membawanya sendirian. Kalau ukuran makanan terlalu besar atau kalau semut menemukan beberapa gundukan kecil makanan di suatu daerah, mereka mengeluarkan hormon beracun untuk mencegah semut lain agar tidak menghampiri daerahnya. Kemudian, mereka memanggil para pekerja lain, besar maupun kecil, untuk bersama-sama mengangkut makanan.

Semut bersama-sama mengangkat makanan...

Dalam kehidupannya, semut juga mengenal pembagian tugas yang sangat sempurna. Semut besar memotong-motong makanan dan menjaganya dari hewan-hewan asing, sementara semut kecil membawa pulang makanan. Semut pekerja mengangkat makanan dengan rahangnya dan membawa makanan di depan selagi kembali ke sarang. Kalau bekerja berkelompok, semut dapat membawa potongan makanan yang lebih besar. Mereka mengangkat makanan menggunakan satu atau dua kaki. Pada saat yang sama mereka juga menggigit makanannya dengan rahang terbuka. Semut pekerja menggunakan cara yang berbeda-beda berdasarkan posisi dan arahnya. Semut yang di depan bergerak mundur sambil menyeret makanan.

Semut yang di belakang berjalan maju sambil mendorong makanan. Semut yang di samping membantu mengangkat. Dengan cara ini, semut dapat mengangkat makanan beberapa kali lebih berat dari yang bisa dibawa seekor semut. Berdasarkan pengamatan, ditemukan bahwa jika semut bekerja sama, mereka dapat mengangkat beban seberat 5000 kali berat yang dapat diangkat seekor semut pekerja. Seratus ekor semut dapat membawa seekor cacing besar di atas tanah dan bergerak dengan kecepatan 0,4 cm per detik.

Semut dianggap Remeh …

Padahal ia cerdas dan sama sekali tidak bisa dianggap remeh.

Semut yang bertugas mencari makan biasanya menjalankan tugas dengan cara yang sulit dijelaskan. Ia berangkat ke sumber makanan dengan berjalan berkelok-kelok, tetapi kembali ke sarang dengan rute lurus yang lebih singkat.

Mencari makan dengan berjalan berkelok-kelok

Penunjuk jalan semut adalah matahari, sedangkan kompasnya adalah cabang pohon dan tanda alam lainnya. Semut mengingat bentuk tanda-tanda ini, sehingga dapat menggunakannya untuk menemukan rute pulang terpendek, meskipun rute ini benar-benar baru baginya. Pada malam hari, mereka dapat menemukan dan mengikuti jalan yang mereka tempuh saat menemukan makanan pada pagi harinya, meskipun kondisinya berubah, karena petunjuk ‘bau’ yang ditinggalkannya. Sungguh semua kondisi alam adalah petunjuk bagi semut demi meraih cita-cita dan demi tunainya tugas.

Dalam mencari mangsa ia berkelok kelok sehingga tak mudah dibaca… tetapi dalam mencapai sarang “tujuannya” , ia mencari jalan terpendek. Kerja yang effektif dan effisien.

Semut dianggap Rapuh …

Padahal ia adalah pemburu yang effectif.

Beberapa spesies semut menggunakan gigi untuk memakan telur laba-laba, ulat, serangga, dan rayap. Banyak spesies semut (misalnya Semut Dacetine) yang khusus memakan serangga tanpa sayap. Serangga yang dimangsa Dacetine ini hidup berkelompok di tanah dan di daun busuk. Ia juga memiliki tonjolan berbentuk garpu di bawah tubuhnya. Ketika ia bergoyang dan berdiri tegak, organ ini melontarkan tubuhnya ke udara dan bergerak maju bagaikan kangguru mini. Semut Dacetine menggunakan rahangnya bagaikan perangkap hewan untuk menghadapi manuver mangsanya. Ketika semut pencari makan mencium bau serangga dengan antenanya, ia mengintai dengan rahang terbuka 180 derajat.

Semut ini mengaitkan gigi kecilnya pada rahangnya dengan cara menekankannya ke langit-langit mulut. Lalu, semut memeriksa sekitarnya dengan menggerakkan antenanya ke depan. Kemudian semut mendekati serangga perlahan-lahan. Ketika antenanya menyentuh mangsanya, si serangga kecil terjangkau oleh gigi bawah semut. Ketika semut menurunkan langit-langit mulutnya, rahangnya mendadak menutup dan mangsanya terjepit di antara giginya.

Kecepatan kedipan mata kita sangat lambat jika dibandingkan dengan kecepatan gigitan semut ini ketika menjebak mangsanya. Kelopak mata kita membuka dan menutup dalam sepertiga detik; rahang semut Odontomachus bawi bekerja 100 kali lebih cepat. Gigitan tercepat yang teramati memakan waktu 0,33 milidetik.

Struktur rahang semut penjebak panjangnya sekitar 1,8 milimeter. Pada bagian dalamnya terdapat kantong udara yang menempel ke trakea. Sistem ini menyebabkan gigi dapat bergerak cepat. Rahangnya berfungsi sebagai perangkap tikus mini. Ketika berburu, rahang terbuka lebar dan siap menutup setiap saat. Kecepatan menggigitnya berkurang menjelang akhir proses menggigit.


Duhai pasukan semut…. biarkan anggapan itu terus menggelontor ke arahmu… agar kau tak diganggu dalam mencapai tujuanmu… agar kau terus giat dan lincah dalam bekerja…

Fokus dan Ikhlash

Pasukan semut tidak menghiraukan “celaan para pencela”, mereka membiarkan berbagai anggapan yang “mengerdilkan” eksistensinya. Semut tetap FOKUS pada pekerjaannya dan tujuannya. “FOKUS dan IKHLASH”… itulah motto pergerakan “Army Ants”.

Tidak Berisik

Begerak ke tujuan tanpa berisik. Berbeda dengan “nyamuk” yang selalu gaduh saat mendekati sasaran. Semut bergerak latin tapi pasti. Tidak butuh kegaduhan, tidak butuh pujian…. benar benar fokus dan ikhlash mencapai tujuan.

Setia kepada Pimpinan

Ratu semut adalah pemimpin yang sangat dihormati dan di taati oleh “Army Ants”, ia mengatur pekerjaan bagi army ants, dan army ants senang melaksanakan tugas dari sang ratu.

Berbagi Peran dalam Tanggung Jawab yang Sama

Ada Ratu Semut, ia bertugas bertugas bereproduksi (bertelur) dan sangat dijunjung tinggi oleh rakyatnya. Ratu semut bisa hidup hingga berumur 20 tahun. Distribusi tugas dan produksi pasukan semut ada ditangannya.

SEMUT PEKERJA tidak bertelur, melainkan mengabdikan dirinya mengurus telur-telur ratunya. Jadi Semua semut pekerja adalah betina. Pendek kata, semua komunitas semut sebenarnya terdiri atas ibu dan putrinya.

Mereka menghadapi risiko kerja yang tinggi, karena medium lembap yang dibutuhkan telur dan larva ideal bagi pertumbuhan bakteri dan jamur yang berbahaya bagi kesehatan semut. Semua semut pekerja adalah betina. Pendek kata, semua komunitas semut sebenarnya terdiri atas ibu dan putrinya.

Semua keperluan sang ratu dipenuhi para pekerjanya. Hal terpenting yang dilakukan semut pekerja adalah melayani sang ratu dan memastikan bahwa sang ratu dan “bayinya” selamat. Sungguh sebuah proyek kaderisasi yang sempurna.

Ada juga semut pekerja yang khusus mencari makanan, ada yang membangun sarang, ada juga semut pekerja yang bertugas mengawini ratu semut muda agar tetap terjadi reproduksi “kader” Army Ants… walaupun setelah perkawinan itu ia mati sebagai martir demi lestarinya “kaderisasi”, dan lain lain.

Semut, baik Ratu maupun pekerja berbagi peran untuk satu tanggung jawab yang sama yaitu melestarikan koloni semut dan membangun kewibawaan kerajaan semut… subhanallah.**** (waiman)

pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU

almukaromah, 29 Maret 2017





Share:

Kebangkitan Komunisme Pasca Madiun Affairs

Komunis Indonesia Bangkit Kembali 1950
Tidak lebih dari tiga tahun, setelah gagalnya pemberontakan Komunis di Madiun (1948), Komunis mampu kembali bangkit. Demokrasi liberal tahun 1950-1959 telah membuka jalan kembalinya PKI (Partai Komunis Indonesia) ke permukaan.
4 Februari 1950, Alimin kembali mengaktifkan dan memimpin PKI. Tetapi setelah DN Aidit dan MH Lukman kembali dari Moskow (Juli 1950), tampuk kepemimpinan PKI dipegang oleh Aidit.
“Buku putih” tentang pemberontakan Madiun 1948 diterbitkan. Sebagai upaya Aidit dan kawan-kawan PKI nya untuk merehabilitasi nama baik PKI terkait Madiun Affairs, dengan menempatkan Komunis (PKI) sebagai korban pergesekan tentara tahun 1948. Mohammad Hatta dengan Re-Ra nya dianggap sebagai salah satu penyebab pergesekan tersebut. Alimin bahkan menuntut penggalian dan penguburan kembali tokoh-tokoh PKI yang dihukum mati akibat Madiun affairs, tetapi hal ini ditolak oleh pemerintah.
Tahun 1951, PKI kembali membuat kerusuhan-kerusuhan di Bogor dan Jakarta, korban kembali berjatuhan. Sukiman sebagai Perdana menteri RI kemudian meredakan situasi dan menangkapi para pemimpin PKI. Aidit kembali lolos dan melarikan diri ke Moskow. PKI menyebut peristiwa penangkapan ini sebagai “Razia Agustus 1951” dan dianggap sebagai provokasi kabinet Sukiman untuk mencari alasan pembubaran PKI.

Jalan Demokrasi Rakyat ala Komunis

DN Aidit kembali ke Indonesia tahun 1953 dan membawa konsep baru yang dikenal dengan “Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”, yang dibacakan dalam Kongres Nasional PKI ke V.
PKI menata kembali partainya. Mereka mengubah bentuk perjuangannya menjadi MKTBP (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan), yaitu :
1.   Perjuangan gerilya di desa yang terdiri dari kaum buruh tani dan tani miskin.
2.   Perjuangan revolusioner kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh angkutan.
3.   Bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama di kalangan angkatan bersenjata.

“Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia” diputuskan sebagai garis politik dan pedoman bekerja praktis Partai Komunis Indonesia.

Aidit merevisi taktik open rebellion (perang terbuka) ala Muso, karena PKI belum menjadi King Maker. Dan dibentuklah Front Nasional, yaitu kerjasama dengan Partai-Partai lain dan kekuatan Buruh Industri serta petani, dengan mempertahankan indenpendensi PKI. Taktik ini sejalan dengan taktik yang dilakukan Uni Soviet dan RRC terhadap negara-negara baru merdeka di Asia (termasuk Indonesia) dalam rangka global strategy gerakan Komunis Internasional.

Front Nasional hanyalah taktik jangka pendek atau sementara, AD/ART PKI menggariskan: “Jika revolusi Indonesia yang bersifat nasional dan demokratis sudah mencapai kemenangan sepenuhnya, kewajiban PKI selanjutnya adalah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan sistem Sosialisme dan sistem Komunisme di Indonesia…”
Untuk kepentingan itu, PKI mengadakan aliansi dengan Partai yang memiliki kekuatan politik yaitu PNI.
Sementara itu, Biro Khusus (BC) ditugaskan kepada Sjam Kamaruzaman untuk melakukan infiltrasi komunisme kedalam tubuh tentara dan kepolisian. BC juga bertugas untuk memecah-belah kekuatan tentara dan kepolisian sehingga tercipta friksi internal.
Setelah kabinet Sukiman jatuh (23 Februari 1952), PKI menawarkan kepada PNI untuk membentuk kabinet tanpa Masyumi. Walaupun akhirnya kabinet yang terbentuk (kabinet Wilopo- PNI), tetap mengikut sertakan Masyumi.
Tidak lama, kabinet Wilopo jatuh, terbentuklah kabinet Ali Sostroamijoyo (PNI) yang meniadakan unsur Masyumi dan PSI (yang dianggap musuh PKI). PKI menyatakan bahwa kabinet Ali Sostroamijoyo I ini adalah “kemenangan gilang gemilang daripada demokrasi terhadap Fasisme”.
Pemilu tahun 1955, PKI berhasil meraih 6 juta suara, dan menempatkan PKI sebagai 4 besar pemenang pemilu setelah PNI, Masyumi dan NU. Ironisnya, PKI tidak mendapat tempat di kabinet setelah pemilu 1955. Kabinet Ali Sastroamijoyo II terbentuk dari PNI, Masyumi dan NU tanpa PKI.

Soekarno Miring ke Kiri (Miri)
5 Juli 1959 terbitlah Dekrit Presiden untuk membubarkan Parlemen dan menghentikan Konstituante yang sedang bersidang membicarakan dasar Negara, dimana dari unsur-unsur Islam hampir saja dapat menggolkan Dasar Negara islam. Perdebatan tentang dasar Negara ditutup dan Presiden melalui dekritnya menyatakan untuk kembali kepada UUD 1945.
Parlemen dibubarkan dan dibentuklah MPRS dan DPR GR berdasarkan Penetapan Presiden. DPR-GR (Dewan Perwakiran Rakyat Gotong Royong), keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh PNI, NU, dan PKI, sesuai dengan konsep NASAKOM.
Demokrasi Terpimpin dijalankan dan pos-pos penting pemerintahan diserahkan kepada perwira-perwira militer.
Soekarno memberi penjelasan tentang Dekrit dengan Pidatonya tanggal 17 Agustus 1959. Dan melalui Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang diketuai oleh Soekarno sendiri, agar isi pidato tersebut dirumuskan sebagai GBHN. Adalah DN Aidit (CC PKI) menjadi panitia kerja DPA, memanfaatkan moment tersebut untuk memasukan program-program PKI ke dalam GBHN. Rumusan DPA tersebut disebut MANIPOL (manifestasi politik) RI. Aidit telah mengisi MANIPOL RI dengan thesis revolusi PKI yaitu “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia” (MIRI).
Konsepsi Front Nasional PKI kemudian diadopsi Soekarno dan diracik menjadi NASAKOM yaitu persatuan Nasionalis (PNI), Agama (NU) dan Komunis (PKI). Soekarno benar-benar semakin kelihatan miring ke kiri dan berwarna merah total. Bahkan melalui Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno, bahwa tanpa PKI Presiden akan menjadi lemah terhadap TNI.
Untuk mengimbangi TNI, PKI menyarankan Presiden agar membentuk angkatan kelima yang terdiri dari buruh dan tani. PKI juga menuntut agar dibentuk Kabinet Nasakom, karena anggota PKI hanya sedikit yang duduk dalam kabinet dengan menteri-menteri PKI (DN Aidit, NH Lukman, Nyoto) yang tidak memegang departemen.
Sebenarnya Ro’is Aam NU, KH. Wahab Chasbullah dan beberapa tokoh NU Sesungguhnya Menolak Kabinet Naskom Dan Menolak Kerja Sama Dengan PKI.
Konsepsi NASAKOM ini adalah juga merupakan ide marxisme-nya Soekarno sejak tahun 1926. Soekarno pada tahun 1926 dalam seri karangannya yang dimuat dalam majalah Indonesia Moeda yaitu Nasionalisme, Islam, dan Marxisme.

Politik Konfrontasi dan Poros Jakarta – Peking (RRC, Komunis Cina)

Politik Luar Negri RI yang “bebas aktif” berubah menjadi “politik konfrontatif” kepada musuh-musuh komunis. Dunia dibagi dalam Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo adalah kekuatan baru yaitu negara-negara anti imperialis yang komunis dan pro komunis. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).

Bentuk perwujudan poros anti imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta – Phnom Penh – Hanoi – Peking – Pyong Yang (Indonesia dan Komunis RRC).
Politik Konfrontasi juga diarahkan kepada Malaysia, yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris.

Soekarno Mengutuk Komunisto Fobia
Masyumi dan PSI yang selain terdepak dari kabinet juga mengkhawatirkan haluan Komunisme Soekarno. Akibatnya terjadi pemberontakan PRRI / Permesta oleh Masyumi dan PSI.
Pertengahan tahun 1960, PKI mencoba kekuatannya dengan berkonforantasi dengan Angkatan Darat (AD). PKI menuding AD tidak serius menumpas pemberontakan PRRI / Permesta.
PKI juga melakukan pengacauan dibeberapa daerah (Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan), untuk memeprlemah TNI AD. Namun TNI AD dapat menghentikan dan membekukan kegiatan PKI. Penangkapan dan pemeriksaan terhadap tokoh-tokoh PKI dilakukan dan dilarang juga media massa PKI. TNI AD juga menyarankan kepada Soekarno agar tidak percaya kepada loyalitas PKI.
Soekarno lagi-lagi menampakan keberpihakannya kepada komunis, Soekarno malah memperingatkan TNI AD supaya tidak terjangkit komunisto fobia (anti komunis)dan mencabut segala pembatasan terhadap PKI. Ia pada tanggal 17 Agustus 1960 dalam pidatonya ”Laksana Malaikat Yang Menyerbu dari Langit Jalannya Revolusi Kita”, dengan lantang mengutuk orang-orang yang disebutnya Komunisto fobia.

Soekarno Melindungi PKI (Komunis)
Tahun 1961, Panitia Tiga Menteri (AH Nasution, Ipik Gandamana dan Roeslan Abdul Gani) memanggil DN Aidit (CC PKI). Penilaian Panitia Tiga Menteri disimpulkan bahwa politik dan idiologi PKI mempunyai tujuan lain dan tidak berasaskan Pancasila. Masalah ini kemudian dilaporkan kepada presiden Soekarno.
Dengan dilakukan penyesuaian pada AD/ART PKI, Presiden Soekarno menilai bahwa kehadiran PKI dapat dikendalikan. Oleh karena itu berdasarkan Keputusan Presiden No. 128/1961 ditetapkan bahwa PKI adalah partai yang sah.
PKI kemudian menafsir pancasila sebagai alat pemersatu. Terjadi pula kasus “Heboh Pancasila”. Heboh ini bermula dari ceramah DN Aidit di depan para peserta Kader Revolusi Nasional (Pekarev) bulan Oktober 1964, ia mengatakan: “… dan disinilah betulnya Pancasila sebagai alat pemersatu. Sebab kalau sudah satu semua… Pancasila tidak perlu lagi…”. Di bagian lain ceramahnya Aidit berkata: “…Landasan Idiil Pancasila yang lahir pada tahun 45 adalah NASAKOM …”.

Hampir semua media massa waktu itu memunculkan reaksi atas peristiwa “Heboh Pancasila”, kecuali media-media milik Komunis. ”Heboh Pancasila” berakhir setelah Soekarno memanggil seluruh partai politik kemudian bersama-sama menyatakan dukungan terhadap pancasila.

Kongres Nasional PKI VII (April 1962) dikatakan: “PKI tidak memandang pekerjaan dalam parlemen sebagai pekerjaan terpokok dan bukan satu-satunya bentuk perjuangan. PKI mendasarkan politiknya atas analisis Marxis mengenal keadaan kongkrit dan perimbangan kekuatan”.

Perimbangan kekuatan yang dimaksud adalah Kekerasan, inilah pekerjaan terpokok komunis untuk mencapai tujuan. Sebagaimana yang diingatkan oleh Taufik Ismail bahwa dalam Manifesto Komunis yang disusun oleh Marx dan Engels bahwa Tujuan mencapai kekuasaan hanya dapat dicapai dengan menggunakan kekerasan , menggulingkan seluruh sistem sosial yang ada.

Tahun 1964 hingga 1965, PKI meningkatkan intensitas offensive revolusioner-nya terhadap lawan-lawan politik anti PKI yang dituduhnya sebagai “kontra Revolusi”. Aksi-aksi terror dilakukan secara acak, sabotase terhadap Kereta Api, gerakan riset di kecamatan-kecamatan untuk memastikan kekuatan petani miskin pro komunis, aksi menuntut penyitaan milik Inggris dan Amerika, aksi menuntut penggantian pejabat yang anti PKI (retooling), dan lain lain.

Termasuk kekerasan kepada Pelajar Islam Indonesia (PII) saat mengadakan Mental Training jam 04.30 di Kanigoro Kediri (13 Januari 1965), diserbu 3000 anggota PKI yang dipimpin oleh ketua PR cabang Kediri. Para pelajar islam, Imam Masjid dan Kiai menjadi korban keganasan PKI. Konon mereka merusak masjid dan menginjak-injak Al-Qur’an sambil berteriak teriak: “Ganyang Masyumi”, “Ganyang santri”, “Ganyang sorban”, “Ganyang Kapitalis”, “Dulu waktu peristiwa Madiun besar kepala, kini rasakan pembalasan”.
27 Agustus 1964 dibentuk kabinet Dwikora dimana tokoh tokoh PKI duduk sebagai Menko dan Menteri. Memperkuat posisi PKI di pemerintahan. Belum lagi pembentukan Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kontar), benar benar sejalan dengan program PKI.
Penghujung Tahun 1964, Wakil PM III Chaerul Shaleh, membongkar dokumen rahasia CC PKI yang berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI dewasa ini” (1963). Dokumen itu menyatakan bahwa “Revolusi Agustus 45” telah gagal dan belum usai. Dikatakan gagal karena pemimpin pemerintahan Revolusioner bukan ditangan kaum Komunis. Oleh karena itu revolusi perlu disiapkan dengan cara merebut pimpinan dari tangan kaum borjuis. Dokumen juga menyatakan bahwa PKI menilai dirinya sudah kuat dan merasa semua golongan sudah ada di pihaknya.

Dokumen ini dibantah PKI dalam sidang kabinet (desember 1964). PKI balik menuduh bahwa dokumen itu dibuat oleh kaum “trotskyst” yang dibantu kaum Nekolim untuk menghancurkan PKI.
Lagi-lagi Soekarno menjadi pembela PKI (Komunis) dengan memanggil para pimpinan partai ke Istana Bogor. Soekarno memerintahkan para pemimpin partai untuk menyelesaikan persengketaan antar partai. 12 Desember 1964 sepuluh partai politik menandatangani “Deklarasi Bogor” sebagai kebulatan tekad partai-partai di hadapan Pemimpin Besar Revolusi. Soal dokumen rahasia tidak disebut-sebut dalam deklarasi tersebut dan masalah dipaksa selesai. Disini Soekarno menyeret masalah Partai Komunis menjadi masalah seluruh partai.
Anehnya Partai Murba yang membongkar dokumen Rahasia CC PKI, pada tanggal 5 Januari 1965, dibekukan oleh Soekarno melalui keputusan Presiden.**** (waiman)
pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU
almukaromah, 28 Maret 2017

Sumber:
1.   DN Aidit, “Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”, Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1955. Diedit dan dimuat oleh Ted Sprague (5 April, 2013) dalam www.marxists.org,https://www.marxists.org/indonesia/indones/1954-AiditJalankeDemokrasi.htm
2.   AD ART Partai Komunis Indonesia, dalam www.marxists.org,https://www.marxists.org/indonesia/indones/1954-AiditJalankeDemokrasi.htm
3.   Sekretariat negara RI, “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, penerbit Sekretariat Negara Republim Indonesia, Jakarta 1994.
4.   Anton Tabah, “Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G-30-S/PKI”, penerbit CV. Sahabat Klaten – Klaten, cetakan ke V tahun 2014.


Share:

Komunisme: Tragedi (65) Enam Lima

Prahara Tahun 65
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis, artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Awal tahun 1965, atas usulan PKI, Soekarno menyetujui Angkatan kelima, dimana Buruh dan Tani dipersenjatai. Dalam prespektif Soekarno ini adalah kekuatan penyeimbang TNI.  Tentu saja perwira-perwira AD tidak setuju ide ini.

Diisukan adanya Dewan Jendral, dimana perwira-perwira AD diisukan akan mengambil alih kekuasaan Negara pada tanggal 5 Oktober 1965 (hari ABRI). Isu Dewan Jendral juga menyertakan susunan kabinet versi Dewan Jendral.
Isu Dewan Jendral tersebut di manfaatkan (diciptakan) oleh PKI untuk membentuk Dewan Revolusi Indonesia sebagi tandingan Dewan Jendral. Untuk menghindari resiko kegagalan, tokoh-tokoh PKI tidak memegang pimpinan. Sebaliknya, perwira ABRI yang memegang pimpinan, bertindak sebagai Ketua Dewan Revolusi, yaitu Letkol Untung Syamsuri, perwira KODAM Diponegoro yang berprestasi . Dengan demikian kalau Dewan Revolusi mengalami kegagalan, PKI tidak akan dilibatkan. Selanjutnya ditegaskan bahwa kegiatan Dewan Revolusi adalah intern Angkatan Darat/ABRI.
RRI jam 07.00 menyiarkan informasi telah terjadi gerakan militer di lingkungan Angkatan Darat yang dinamakan “Gerakan 30 September” (G30S). Siaran kedua sekitar pukul 13.00 WIB. Siang itu kelompok G30S memberitakan “Dekrit No. 1” tentang “Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia” dan “Keputusan No.1” tentang “Susunan Dewan Revolusi Indonesia”. Dalam siaran ini diumumkan komposisi personil G30S yang terdiri dari Letnan Kolonel Untung sebagai komandan dan tiga wakil komandan yakni Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas. Siaran menyatakan bahwa kekuasaan negara telah jatuh ke tangan Dewan Revolusi Indonesia dan status kabinet Dwikora bentukan Sukarno dinyatakan demisioner.
Pasukan G30S dibagi dalam 3 kelompok; Pasopati, Bimasakti dan Pringgodani. Pasukan-pasukan itu, dipimpin oleh perwira dari Cakrabirawa bawahan Untung.
Pasopati dalam penculikan juga membunuh secara langsung, terhadap tujuh Jenderal AD yang akan diculik.
Pasukan Bimasakti kebagian jatah untuk beraksi di Jakarta Pusat. Mereka ditempatkan di Medan Merdeka, dekat Monumen Nasional (Monas).
Pasukan terbesar G30S, adalah Pringgodani. Tugas pasukan ini adalah mempertahankan pangkalan Halim Perdanakusuma. Tugas lainnya untuk mengamankan Presiden Soekarno bila berada di instalasi militer itu. Pangkalan udara Halim Perdanakusumah adalah basis utama G30S.
Selepas tengah malam 30 September, tepatnya 1 Oktober 1965 dini hari, jadilah peristiwa berdarah penculikan dan pembunuhan 6 jendral AD yaitu:  Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,  Mayjen TNI R. Suprapto ,  Mayjen TNI M.T. Haryono , Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo. Sementara itu AH Nasution berhasil lolos dari penculikan.

Penumpasan G 30 S PKI
1 Oktober 1965, RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi, merebut kembali Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi tanpa pertumpahan darah.  Kemudian RPKAD merangsek ke arah Halim Perdana Kusumah yang diyakini sebagai basis G 30 S PKI.
Halim Perdana Kusuma diserang (2 Oktober 1965), oleh satuan RPKAD Pada pukul 12.00 siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso (3 Oktober 1965) dan ditemukan sumur tua tempat para jendral AD dibenamkan di dalamnya. Sumur tersebut dikenal dengan Sumuir Lubang Buaya. Adapun penggalian sumur tersebut dilakukan tanggal 4 Oktober dan 13 Oktober 1965, disaksikan oleh Mayjend TNI Soeharto, sekaligus diangkatnya mayat jendral-jendral AD yang menjadi korban G 30 S. Fisik mayat-mayat tersebut terlihat rusak akibat penyiksaan kejam sebelumnya.
Soekarno (6 Oktober 1965) mengeluarkan imbauan untuk menciptakan “persatuan nasional“, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.  Sementara itu, Biro Politik CC PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”. Menyusul tanggal 12 Oktober para pemimpin Komunis Uni Sovyet;  Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Soekarno: “Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik…Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan…Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam.”

Bulan Maret 1966  tanggal 11 terbitlah Surat Perintah Sebelas Maret yang terkenal dengan istilah SUPERSEMAR, termasuk terkenal kontroversinya. Supersemar dari Presiden  Soekarno kepada Soeharto untuk “Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan“. Sekaligus mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintahan dengan panglima-panglima Angkatan.
Supersemar seakan-akan menjadi kekuatan tak terbatas bagi Soeharto. Langkah pertama Soeharto adalah melarang PKI. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November 1966. Nyoto mengambil alih kepemimpinan PKI.
Tanggal 16 Maret 1966, Pangkopkamtib atas nama Presiden menangkap 15 Menteri yang diduga PKI. Menyusul perombakan Kabinet Dwikora (27 Maret 1966).
Selepas itu anggota PKI dan simpatisannya diburu, ditahan dan terjadilah pembunuhan yang juga melampaui batas kemanusiaan. Korban anggota PKI dan simpatisannya memang tidak diketahui secara persis ada yang mengatakan 500.000 bahkan ada yang mengatakan sampai dua juta korban.

PKI (Komunisme) dilarang dan Presiden Soekarno Diberhentikan
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung dari tanggal 21 Juni 1966 sampai dengan 6 Juli 1966.
Dalam sidang MPRS tanggal 5 juli 1966 keluar  TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme 
Pidato Nawaksara dibacakan Presiden Soekarno di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan pimpinan MPRS tanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. Sidang MPRS ditutup tanggal 6 Juli 1966, dengan salah satu keputusannya adalah menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.
17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyampaikan  yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka (1-3 Oktober 1966). Mereka menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan korban. Gelombang demontrasi kembali terjadi tanggal 30 Nopember 1966 dengan tuntutan yang sama. Bahkan pada tanggal 9-12 Desember 1966 Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili. Demontrasi Mahasiswa, pelajar dan pemuda baik KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI (20 Desember 1966).
ABRI juga menerbitkan pernyataan keprihatinan pada tanggal 21 Desember 1966, mereka menyatakan agar siapapun akan diambil tindakan bagi yang  tidak mau melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS.”

6 Januari 1967, Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu juga memuat Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan / menjernihkan terhadap peranan Presiden (Soekarno)  dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI.

Soekarno sendiri pada tanggal 10 januari 1967 dalam pidato pelengkap NAWAKSARA  menyatakan mengutuk GESTOK (istilah Soekarno untuk G 30 S) sekaligus menyatakan bahwa G 30 S adalah: satu “complete overrompeling” bagi nya. Sementara itu Pimpinan MPRS menilai bahwa Presiden (Soekarno) masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI (11 Februari 1967) ,bertemu Presiden Soekarno di Bogor, menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum ke-IV.
Puncaknya terjadi tanggal 16 Februari 1967, dimana Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967  yang menolak pelengkapan pidato nawaksara yang disampaikan dengan surat presiden.  Keputusan MPRS tersebut ditanggapi Soekarno dengan penyerahan kekuasaan kepada Pengemban ketetapan MPRS, yakni Jendral Soeharto.
Akhirnya Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7 Maret 1967, memutuskan mencabut Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.
Berakhirlah karir Soekarno, setelah 23 tahun sejak tahun 1945 hingga tahun 1967 memegang tampuk kepemimpinan nasional.

Berbagai Versi
Belakangan, pada masa reformasi, berkembang versi-versi seputar dalang G 30 S. Sementara pada masa orde baru, dalang  G 30 S adalah tunggal yaitu PKI sehingga dibelakang G 30 S diberi imbuhan PKI.
Setidaknya ada 6 versi yang berkembang tentang dalang G 30 S:
1.   Partai Komunis Indonesia (PKI)
2.   Sebagian Perwira Angkatan Darat dengan PKI sebagai Pemain Kedua
3.   Soekarno
4.   Soeharto
5.   Amerika Melalui Central Intelegence Agency (CIA)
6.   Sjam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus Central PKI
Keenam versi mengenai siapa dalang dibalik peristiwa G 30 S tersebut tidak akan memupus peran PKI (Komunis) dalam peristiwa G 30 S. Bahkan bias jadi G 30 S memang tidak memiliki pelaku (aktor) yang tunggal, tetapi keenam aktor tersebut satu sama lain saling memanfaatkan situasi.**** (waiman)
Pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU
Almukaromah, 28 Maret 2017

SUMBER:
1.   Asvi Warman Adam, “Membongkar Manipulasi Sejarah”, Penerbit buku KOMPAS –jakarta, cetakan ketiga tahun 2009.
2.   ekretariat negara RI, “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, penerbit Sekretariat Negara Republim Indonesia, Jakarta 1994.
3.   Anton Tabah, “Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G-30-S / PKI”, penerbit CV Sahabat Klaten – Klaten, cetakan ke V tahun 2014.
4.   Surya Lesmana (koordinator), “Saksi dan Pelaku Gestapu”, Penerbit Media Pressindo – Yogyakarta, Cetakan keempat Agustus 2006.


Share: