Dalam
perang Ahzab (khandaq) ada dua situasi yang paling ekstrem: Ketakutan dan
dinginnya cuaca.
Ketakutan karena Madinah diserang tentara sekutu (Ahzab) yang dipimpin Kafirin
Quraisy Makkah. Dikepung dari berbagai arah di luar kota Madinah dan digerogoti
dari dalam oleh Yahudi (bani Quraidzhah). Sehingga Umat Islam menerapkan
strategi bertahan total dengan membuat parit (khandaq) diseputar Kota Madinah.
Dinginnya cuaca juga cukup menyiksa. Hujan, banjir dan cuaca dingin yang
menusuk-nusuk punggung betul-betul menjadi kombinasi yang tajam dalam suasana
terboikot dan terkepung tentara sekutu.
Dua situasi ekstrem tersebut sangat dirasakan terutama oleh para petugas Ribath
(penjaga perbatasan). Para petugas Ribath harus tetap waspada, mengawasi
perbatasan, agar tidak ada satupun dari tentara musuh yang lolos menyusup ke
dalam Kota.
Mereka harus berjaga-jaga dan siaga penuh dalam lindungan rasa takut dan
dingin. Sampai- sampai mereka pada mengubur setengah badannya dalam pasir untuk
menahan rasa dingin.
Pada suatu malam yang sangat gelap dan dingin, mereka mendengar suara kaki
berjalan teratur. Mereka telah mengetahui bahwa itu adalah Rasulullah, lelaki
yang tetap mobil walau dalam suasana yang tidak bersahabat.
Mereka tetap berjaga-jaga tanpa berkata kata. Terutama setelah keluar perintah:
“Adakah salah seorang di antara kalian yang
berani melihat kondisi musuh sekarang? Semoga Allah mengumpulkannya denganku
pada hari kiamat kelak.”. Rupanya Rasulullah menawarkan tugas
patroli ke pertahanan tentara sekutu.
Bukan tugas yang mudah, tetapi tugas yang tinggi resiko. Berjaga-jaga di
perbatasan saja sudah perlu keberanian berlipat, apalagi harus menyusup ke
pertahanan musuh. Tugas yang hanya bisa diemban oleh Umat yang memiliki
Loyalitas yang tinggi.
Loyalitas kini sedang diuji dan butuh pembuktian. Tetapi tidak ada seorangpun
sahabat petugas ribath yang menyambut tawaran tersebut. Sampai tiga kali
Rasulullah menawarkan tugas tinggi resiko ini, tetapi tetap saja hanya
kesunyian yang menjadi jawaban. Akhirnya Rasulullah memanggil seorang dari
mereka untuk menjalankan misi berbahaya ini. “Berdirilah wahai Hudzaifah,
informasikan kepada kami kondisi musuh (saat ini)” .
Hudzaifah serta merta berdiri dan menjalankan misi berbahaya tersebut.
Loyalitas sedang diuji.
Lalu Hudzaifah pun berjalan dengan ekstra hati-hati menuju kamp musuh.
Kegelapan malam benar-benar menjadi keuntungan bagi Hudzaifah, sehingga musuh
tidak mengenalinya. Bahkan tatkala ia menyusup ke kamp musuh, tak seorangpun
dari mereka yang menaruh curiga terhadapnya.
Jalan wajar tapi tetap hati-hati, seakan-akan ia salah seorang dari pasukan
musuh. Segera, ia mendapati posisi Abu Sufyan, salah seorang pentolan pasukan
musuh, sedang menghangatkan badannya di dekat api unggun. Spontan Hudzaifah
menyiapkan panah dan membidiknya, namun niat itu diurungkannya setelah ia sadar
bahwa tugasnya adalah mencari berita musuh, bukannya membunuh musuh.
Abu Sufyan nampaknya hendak memberikan suatu briefing penting kepada
pasukannya. Namun, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai ada mata-mata yang
menyelinap, ia mengeluarkan sebuah instruksi cerdik yang tidak diduga sebelumnya
oleh Hudzaifah. Abu Sufyan berkata: “Wahai kaum Quraisy,
hendaklah setiap orang dari kalian saling mengecek siapa gerangan orang yang
ada di dekatnya!”
Mendengar hal itu, Hudzaifah tidak kalah pintar, secara spontan ia pegang
tangan orang yang ada di dekatnya seraya bertanya, “Siapa
engkau?”. Karena kaget, orang di sampingnya itu langsung menjawab, “Fulan bin fulan!”. Dengan
demikian, amanlah posisi Hudzaifah. Tak seorangpun yang mengecek identitas
aslinya, karena ia yang terlebih dahulu bertanya sebelum sempat ditanya.
Rupanya briefing itu, untuk menarik mundur pasukan, Abu Sufyan berkata: “ Sungguh, onta-onta kita telah binasa, dan
Bani Quraizhahpun telah meninggalkan kita. Ditambah lagi angin kencang yang
menghantam kita seperti yang kalian lihat sendiri. Maka sekarang kembalilah (ke
Mekah), karena aku akan pergi sekarang!” . Abu Sufyan pun
mempelopori mundur dari medan Ahzab, mengakhiri kepungannya kepada umat Islam
yang terkurung didalam kota Madinah.
Dengan penuh hati-hati, Hudzaifah bangkit dan kembali menuju markas kaum
Muslimin di Madinah untuk menyambaikan berita ini kepada Rasulullah.
Begitu mendengar kabar ini, Rasulullah sangat gembira dan senang. Kemudian
beliau mengucapkan puji dan syukur ke Hadirat Allah, atas kabar gembira ini. Dengan
mundurnya Abu Sufyan beserta pasukannya itu, berarti selesai sudah penderitaan
berat kaum Muslimin dalam menghadapi pasukan sekutu ini .
Hudzaifah ternyata sanggup melawan takut dan mengusir dingin yang
menyelimutinya demi melaksanakan tugas intelijen dari Pimpinannya;
“Rasulullah”. Hudzaifah lulus menjadi umat yang loyal pada intruksi
pimpinannya, mengabaikan keselamatan dirinya, mengusir rasa takut dan
mengabaikan rasa dingin yang menusuk nusuk tulang punggungnya. Sungguh
loyalitas selalu diuji.*** (waiman)
pernah dimuat dalam MAJALAH AMANU
Almukaromah, 25 Maret 2017
0 komentar:
Posting Komentar